Terkait Pengosongan Lahan Bandara Rendani, Ini Pendapat Hukum Kejari dan PN Manokwari

0

MANOKWARI, KLIKPAPUA.com- Ketua Pengadilan Negeri (PN) Manokwari Berlinda Ursula Mayor dan kepala Kajaksaan Negeri (Kejari) Manokwari, Teguh Suhendro menyampaikan Legal Opinion (Pendapat Hukum) terhadap rencana pengosongan lahan bandar udara Rendani, Manokwari.

Berlinda ketua PN Manokwari berpendapat bahwa, di negara Indonesia menganut tiga sistem hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat yakni sistem hukum civil, sistem hukum adat, dan sistem hukum Islam.

Dikatakan Berlinda, berkaitan dengan tanah yang masih ditempati oleh penduduk, Proses sertifikasi tanah dan pembayaran apakah sudah sesuai sasaran.

Dalam pembebasan lahan bandara Rendani, Berlinda juga menyarankan kepada Pemkab Manokwari agar tidak mengesampingkan kesejahteraan rakyatnya.

“Tim harus mengecek satu per satu ke lapangan, supaya didata dan dicek name by name terkait kepemilikan pelepasan hak ulayat maupun setifikat.Harus diteliti dulu, agar tepat sasaran dan tidak salah bayar. Karena kalau salah bayar sama saja tidak bayar dan yang rugi tentu Pemerintah setempat,” kata Berlinda

“Kemudian, sertifikat atas nama negara ini apakah sudah memenuhi proses pelepasan adat, kalau belum berarti ada yang terlewatkan dan tidak bisa diterapkan aturan Perpres 62 tahun 2022 ini,” lanjutnya.

Menurutnya, karena ada diatasnya kitab UU hukum Perdata, mengatur siapa yang merawat menguasai tanah selama 20 tahun lebih, berarti dialah pemiliknya.

Jika Pemkab terbatas anggan untuk Ganti rugi, dapat membuat perjanjian antara masyarakat di notaris bahwa tanah ini akan diganti oleh Pemda tahun sekian, supaya dalam perjanjian itu dianggarkan dalam APBD.

Berlinsa berharap, dalam upaya pengosongan lahan bandara jangan ada hak-hak masyarakat kecil yang terabaikan.

Kejari Manokwari Teguh Suhendro mengatakan, Jika mengacu sesuai Perpres nomor 62 tahun 2018 hanya ada biaya sewa, biaya pengepakan, biaya mobilisasi dan biaya kehilangan mata pencaharian.

Secara hukum pengosongan tanah yang bersertifikat atau yang sudah diberikan konsinyasi sesuai hukum sudah bisa dilakukan pengosongan.

Sedangkan terkait tanah yang tidak bersertifikat, kalau pendapat kami, harus mengidentifikasi tanah yang tidak bersertifikat dan tidak ada bangunan diatasnya sudah 20 tahun lebih ditempati.

Kami mengusulkan untuk relokasi, karena memang lebih tepat direlokasi terhadap menguasai tanah dibawah 20 tahun.

Kemudian, aspek hukum yang terpenting harus dibedakan antara penduduk 20 tahun lebih dan yang kurang dari 20 tahun.

“20 sampai 30 tahun diusulkan untuk diganti rugi sama halnya dengan pemilik yang bersertifikat. Karena penduduk yang telah menguasai selama 20 tahu lebih bisa mengajukan peralihan kepemilikan tanah,” ujarnya. (dra)


Komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.