Menyalakan masa depan lewat energi panas bumi

0
Pekerja memeriksa pipa Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP) di Pertamina Geothermal Energy (PGE) Area Kamojang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (15/9/2025). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat Indonesia merupakan negara dengan potensi panas bumi terbesar di dunia, mencapai sekitar 40 persen dari total potensi global atau sekitar 23,7 gigawatt (GW) dan menargetkan penambahan kapasitas PLTP sebesar 5,2 GW pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034. ANTAFOTO/Adeng Bustomi/YU
JAKARTA – Bayangkan sebuah negeri di mana gunung-gunung berapi yang selama ini dikenal sebagai sumber bencana alam, kini dapat berubah menjadi energi. Kini, dari perut Bumi yang panas itu muncul sumber energi yang bersih, terbarukan, dan menjadi tumpuan masa depan Indonesia.
Di sinilah Indonesia, negara dengan salah satu cadangan panas bumi terbesar di dunia sedang menempuh perjalanan ambisius untuk mengubah potensi alamnya menjadi energi hijau yang berkelanjutan.
Uap panas yang dulu dianggap ancaman, kini menjadi napas baru bagi energi Indonesia. Sebut saja di lereng Gunung Salak di Jawa Barat, hingga Solok Selatan di Sumatera Barat, panas bumi diolah menjadi listrik.
Indonesia, menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), memiliki potensi panas bumi mencapai 23.742 megawatt (MW). Hingga September 2025, kapasitas terpasang sudah mencapai 2.744 MW, menempatkan Indonesia sebagai produsen listrik panas bumi terbesar kedua di dunia, setelah Amerika Serikat yang sebesar 3.937 MW.
Potensi panas bumi itu tersebar di 362 titik dari barat hingga timur Nusantara. Dari angka-angka inilah pemerintah menenun mimpi besar untuk menjadikan Indonesia pemimpin global dalam energi terbarukan, dengan bauran energi hijau 23 persen pada 2025 dan target net zero emission pada 2060 atau lebih cepat dapat tercapai.
“Potensi panas bumi Indonesia luar biasa besar dan tersebar di banyak wilayah. Kami akan memastikan setiap proyek memberi manfaat bagi masyarakat sekitar dan pelanggan PLN di seluruh negeri,” ujar Direktur Manajemen Proyek dan Energi Baru Terbarukan PLN Suroso Isnandar.
Akselerasi
Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menjadikan tahun 2025 sebagai momentum akselerasi. Lima proyek utama pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) digarap serentak, dengan total tambahan kapasitas 260 MW, investasi miliaran dolar, dan target operasi dalam lima tahun ke depan.
Kelima proyek itu tersebar di berbagai daerah vulkanik, yakni PLTP Patuha Unit 2, Bandung, Jawa Barat, berkapasitas 55 MW dengan nilai investasi 211 juta dolar AS, dan target operasional pada Juni 2027.
Kemudian, PLTP Salak Unit 7, Jawa Barat, berkapasitas 40 MW, senilai 153 juta dolar AS, beroperasi Desember 2026. PLTP Wayang Windu Unit 3, Bandung berkapasitas 30 MW, senilai 120 juta dolar AS, beroperasi Desember 2026.
PLTP Muaralaboh Unit 2, Solok Selatan, Sumatera Barat, berkapasitas 80 MW, senilai 417 juta dolar AS, beroperasi April 2027. Dan, PLTP Ulubelu Gunung Tiga, Tanggamus, Lampung, berkapasitas 55 MW, senilai 36 juta, beroperasi Desember 2029.
Semua proyek ini menjadi bagian dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034, yang menargetkan kapasitas PLTP nasional mencapai 5,2 gigawatt (GW).
Ini bukan sekadar proyek teknik, tapi cerita tentang komitmen bangsa untuk masa depan yang lebih hijau.
Untuk mewujudkan percepatan pemanfaatan energi terbarukan, bukan hanya pembangunan fisik yang penting, tetapi juga reformasi regulasi.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyebut pemerintah telah memangkas berbagai tahapan birokrasi yang selama ini memperlambat investasi panas bumi. Lewat platform digital Genesis yang diluncurkan pada 2024, proses lelang wilayah kerja panas bumi (WKP) kini dilakukan secara daring, transparan, dan cepat.
Regulasi yang dulu berbelit kini kita sederhanakan, dengan harapan pemerintah tidak ingin investor tersandung perizinan ketika negara kita sedang berpacu menuju masa depan energi bersih.
Pemerintah juga telah menyiapkan 62 WKP baru, 12 wilayah penugasan survei pendahuluan, serta 16 izin panas bumi aktif, 14 di antaranya diberikan kepada BUMN.
Tidak cukup dengan regulasi, pemerintah membangun fondasi infrastruktur. Melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034, pemerintah menyiapkan pembangunan 48 ribu kilometer sirkuit transmisi listrik untuk menghubungkan sumber-sumber energi terbarukan dengan jaringan nasional.
Langkah ini menjadi jembatan antara daerah penghasil energi dengan pusat-pusat konsumsi listrik. Infrastruktur ini juga diharapkan membuka akses listrik ke daerah-daerah terpencil, yang selama ini mengandalkan genset berbahan bakar minyak.
Ramah lingkungan
Keunggulan panas bumi tak hanya pada sumber dayanya yang berlimpah, tetapi juga ramah lingkungan.
Menurut Badan Energi Internasional (IEA), emisi karbon dari PLTP hanya 75 gram karbon dioksida (CO2) per kWh, jauh di bawah pembangkit berbahan batu bara sebesar 995 g/kWh atau BBM sebesar 772 g/kWh. Artinya, setiap kilowatt listrik dari perut bumi berarti lebih sedikit gas rumah kaca di udara.
Selain itu, pengembangan PLTP dilakukan dengan memperhatikan konservasi hutan dan kualitas air tanah. Berbeda dengan pembangkit fosil, proyek panas bumi cenderung tidak mengubah bentang alam secara drastis.
Manfaat energi panas bumi tidak berhenti di laporan statistik. Di Solok Selatan, misalnya, pembangunan PLTP Muaralaboh Unit 2 diperkirakan akan menyerap hingga 1.500 tenaga kerja dan membuka jalan bagi para pengusaha lokal untuk terlibat. Dan diproyeksikan mampu menerangi sekitar 435.000 rumah tangga.
Presiden Prabowo, dalam peresmian pengoperasian dan pembangunan energi terbarukan Juni 2025 menekankan bahwa ini adalah bukti kemampuan bangsa untuk swasembada energi, sambil menuju zero carbon emission.
Masyarakat di sekitar proyek juga mendapat manfaat dari infrastruktur baru, seperti jalan yang dapat membuka akses ke pendidikan, kesehatan, hingga pasar.
Bagi warga, seperti petani di sekitar gunung, energi hijau bukan abstrak, itu listrik yang menyala di malam hari dan udara yang lebih bersih.
Indonesia sebagai negeri di atas “Cincin Api Pasifik” sedang membangun masa depan berkelanjutan, energi tak selalu harus datang dari fosil, melainkan bisa berasal dari kekuatan alam yang selama ini kita pijak.
Energi dari perut bumi bukan hanya menyalakan lampu di rumah-rumah, tetapi juga menyalakan harapan bahwa di bawah gunung berapi yang dulu menakutkan, tersimpan masa depan yang hijau, mandiri, dan berkelanjutan bagi Indonesia.(ANTARA)

Komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses