Jelang Satu Abad Nubuatan IS Kijne, Obet Ayok Serukan Peneguhan Jati Diri Papua

0
Obet Arik Ayok Rumbruren, tokoh suku besar Arfak/anggota DPR RI dapil Papua Barat. (foto: Elyas/klikpapua)

MANOKWARI,KLIKPAPUA.com- Tokoh Reformasi Suku Besar Arfak, Obet Arik Ayok Rumbruren, menyerukan agar seluruh masyarakat Papua meneguhkan kembali jati diri sebagai bangsa yang berakar pada nilai-nilai budaya, iman, dan kemanusiaan.

Seruan tersebut disampaikan Obet dalam refleksi menjelang peringatan satu abad Nubuatan Misionaris Izaak Samuel Kijne (IS Kijne), pada 25 Oktober 2025 di Kabupaten Teluk Wondama.

Menurutnya satu abad ini menjadi momentum penting untuk menata masa depan manusia Papua di tengah arus globalisasi yang semakin deras.

“Gereja harus siaga, adat juga harus siaga. Anak-anak muda yang cerdas jangan hanya pintar di kampus, tetapi harus turun ke masyarakat dan berbicara dengan orang tua-tua,” ujar Obet Ayok yang juga sebagai anggota DPR RI

Ia menegaskan, terdapat Tiga pilar utama yang harus dijaga bersama oleh masyarakat Papua, yakni gereja, adat, dan pendidikan.

Ketiganya merupakan fondasi penting dalam mempertahankan eksistensi manusia dan budaya Papua dari ancaman modernisasi tanpa nilai.

Obet menilai, pendidikan di Papua harus diarahkan pada pembentukan karakter dan penguatan nilai-nilai budaya lokal.

Pendidikan yang terlepas dari akar budaya, kata dia, hanya akan melahirkan generasi yang cerdas secara akademik namun miskin makna dan kehilangan jati diri.

“Perguruan tinggi banyak mencetak sarjana, tapi kalau tidak ada buku dan literasi yang mengangkat budaya Papua, generasi mendatang akan kehilangan arah,” ujarnya.

Ia juga menyoroti tantangan identitas di tengah perkembangan zaman.

“Seratus tahun ke depan, apakah orang Papua masih berkulit hitam dan berambut keriting? Jangan sampai ciri khas itu hilang. Identitas kita harus dijaga,” tegasnya.

Lebih jauh, Obet menyerukan pentingnya persatuan lintas agama dan suku di Tanah Papua.

Ia menolak pandangan yang memisahkan umat Muslim dan Kristen Papua, sebab keduanya adalah bagian dari satu bangsa yang sama.

“Orang Fakfak, Kaimana, Bintuni, dan Babo adalah Muslim Papua asli. Jadi jangan bedakan antara Muslim Papua dan Kristen Papua. Kita satu bangsa,” tegasnya.

Ia menegaskan, perbedaan agama tidak boleh menjadi penghalang untuk memperjuangkan harkat dan martabat manusia Papua.

“Muslim Papua dan Kristen Papua harus bersatu, jangan bicara perbedaan, tapi bagaimana kita berbicara untuk Papua,” serunya.

Obet juga mengingatkan bahwa pembangunan Papua tidak cukup hanya dengan mengelola kekayaan alam, tetapi harus berfokus pada penyelamatan manusia Papua itu sendiri.

“Jangan selamatkan kekayaan alam Papua, tapi selamatkan manusia Papua,” katanya.

Ia berharap Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua mengambil peran lebih besar sebagai lembaga moral dan spiritual yang berpihak kepada rakyat.

“GKI harus berdiri di garis depan memperjuangkan keadilan, kesejahteraan, dan harkat orang Papua, baik hari ini maupun di masa depan,” ujarnya.

Menutup refleksinya, Obet mengajak seluruh elemen gereja, adat, umat Muslim, dan pemerintah untuk duduk bersama memperjuangkan kemanusiaan di Tanah Papua.

“Kalau Papua bagian dari NKRI, maka hormati dan lindungi manusianya, bukan hanya kekayaannya,” tandasnya. (dra)


Komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses