MANOKWARI,KLIKPAPUA.com–Bupati Teluk Bintuni Petrus Kasihiw menolak menandatangani berita acara hasil kesepakatan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi (DBH Migas) di Kabupaten Sorong, pekan lalu, mendapat tanggapan anggota Bapemperda DPR Papua Barat Syamsudin Seknun.
Dalam keterangan persnya kepada wartawan di Manokwari, Senin (24/10/2022), bahwa langkah yang dilakukan Bupati Teluk Bintuni sudah sesuai pasal 117 Undang-undang nomor 1 tahun 2022 tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Dijelaskan anggota DPR Papua Barat Dapil Teluk Bintuni, Teluk Wondama, Fakfak dan Kaimana, bahwa dalam skema yang disepakati yaitu dari 70 persen dijadikan 100 persen, kemudian pemprov inginkan 30 persen selanjutnya 70 persen dibagi rata kepada semua 13 kabupaten/ kota se-Papua Barat.
Pembagian skema ini sudah bertentangan dengan pasal 117 Undang-undang nomor 1 tahun 2022 dan Undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua.
Syamsudin mengatakan revisi perdasus nomor 3 tahun 2019 tentang DBH Migas, Bapemperda telah melakukan harmonisasi ke bina keuangan daerah Kemendagri, pihaknya sudah mendapat penjelasan tertuang dalam surat Dirjen Bina Keuangan Daerah nomor :188.34/26728/Keuda tanggal 25 Agustus 2022 kepada Direktorat PHD.
Perdasus nomor 3 tahun 2019 dikembalikan kepada pemerintah provinsi untuk diperbaiki, rujukannya ada pada Undang-undang nomor 1 tahun 2022 dan Undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang Otsus Papua, karena pada saat penetapan Raperdasus menjadi Perdasus nomor 3 tahun 2019 tentang DBH Migas formulasinya masih merujuk pada UU nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan UU nomor 21 tahun 2001.
Dalam UU Nomor 33 tahun 2004 itu mengamanatkan bahwa presentase awalnya 55 persen pemerintah daerah dan 45 persen untuk pemerintah pusat itu berubah, didalam UU Nomor 1 tahun 2022 dan UU nomor 2 tahun 2021 dirubah menjadi 70 persen pemerintah daerah sedangkan 30 persen untuk pusat
“Dalam skema pembagian persentase sudah jelas dimana dalam Perdasus 3 tahun 2019 itu mengatur tentang 3 pembagian yaitu, provinsi, kemudian daerah penghasil dan daerah non penghasil, tetapi ketika lahirnya UU nomor 1 tahun 2022 mengamanatkan 5 pembagian yaitu, pemprov, daerah penghasil, daerah terdampak, daerah non penghasil dan daerah pengelola, ketika rumusannya seperti begini seharusnya Kabupaten Teluk Bintuni dan Kabupaten Sorong lebih besar dari daerah lain, ini rumusan Undang-undang, wajar dong Bupati Teluk Bintuni tolak,” jelas mantan Wakil Ketua Bapemperda DPR Papua Barat itu. (red)