MANOKWARI,KLIKPAPUA.COM— Reformasi 1998 telah mengubah segalanya. Presiden BJ Habibie dalam masa pemerintahan yang singkat, 512 hari, telah mengubah ketakutan menjadi keberanian.
Sejumlah undang-undang yang sebelumnya mengekang, dicabut. Kebebasan bersyarikat, hak asasi manusia, kebebasan menyatakan pendapat dibuka luas.
Satu yang sangat fenomenal, adalah terbitnya Undang-undang Nomor 40/1999 tentang Pers. Apabila masa sebelumnya, penerbitan pers harus seizin pemerintah melalui Surat Izin Penerbitan Pers (SIUPP) yang dikeluarkan Kementerian Penerangan dengan berbagai syarat, maka Habibie membebaskannya.
“Tentu kami yakin, Pak Habibie tahu bahwa kemerdekaan pers yang dihalalkannya melalui UU 40/1999 tersebut, akan mengkritisi dan bahkan menyerang dirinya di saat kondisi ekonomi dan politik tidak stabil ketika itu, namun Pak Habibie tetap konsisten atas kemerdekaan pers,” kata Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Atal S Depari dalam rilis yang diterima klikpapua.com, Senin (16/9/2019).
Dikatakan Atal, bagi Habibie kemerdekaan pers adalah bagian dari upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang menjadi salah satu tujuan pembentukan negara Indonesia.
Atas alasan tersebut, PWI pada Hari Pers Nasional (HPN) di Manado, 9 Februari 2013, memberikan penghargaan medali emas kemerdekaan pers. Hari ini, PWI Pusat kembali menyerahkan Anugerah ‘Bapak Kemerekaan Pers Indonesia.’
“Bagi kami, kalangan pers, anugerah ini untuk mengingatkan bangsa Indonesia, juga pemerintah, bahwa kemerdekaan pers tersebut adalah kemutlakan untuk Indonesia yang demokratis, kuat, dan untuk kepentingan rakyat seluas-luasnya,” ujarnya.
Habibie menurutnya telah membuka kemerdekaan pers, tepat 20 tahun lalu bagi masyarakat pers. Sehingga tidak ada jalan untuk mundur –bahkan harus semakin memperkuatnya dalam situasi apapun.
Hari ini, tepat lima hari wafatnya ‘Bapak Kemerdekaan Pers’, PWI menyerahkan anugerah tersebut kepada putra tertua almarhum Ilham Habibie. (rls/bm)