Menutup Lokakarya, Jerat Papua : Diharapkan Muncul Satu Jejaring yang Mengadvokasi Kasus-Kasus Perampasan Tanah

0
Loka karya membangun jejaringan dalam tantangan  perubahan status  atas tanah dan hutan dalam bisnis  investasi di tanah Papua resmi ditutup, Jumat (18/12/2020). (Foto: Aufrida/klikpapua)
MANOKWARI,KLIKPAPUA.com– Sekretaris  Strering Comite (SC) Jaringan Kerja Rakyat  (Jerat) Papua Sayid Fadhal Alhamid  menutup secara resmi Loka Karya Membangun Jejaringan dalam tantangan  perubahan status  atas tanah  dan hutan dalam bisnis  investasi di tanah Papua, Jumat (18/12/2020)
Sayid Fadhal Alhamid mengatakan semua ini berangkat dari pandangan yang sama, karena Papua berada dalam satu kesatuan yang tak terpisah. Semua isu yang di alami dan  juga dihadapi oleh  masyarakat adat, menjadi konsep teman-teman LSM. “Kita berharap ini bukan  hasil yang paling akhir, melainkan hasil kita yang paling akhir itu proses kerja kita di lapangan, dengan melihat kerja utama kita itu untuk mengadvokasi kasus-kasus yang ada di masyarakat, tentang perampasan tanah (Land Grabbing),” ujarnya.
Fadhal meyampaikan dimana  program Land Grabbing di Jerat mulai tahun 2012-2021  yang dimulai dari studi riset di lapangan  sampai kepada tahap pembangunan jaringan, kemudian proses advokasi. “Jadi satu tahapan dalam proses ini adalah kemudian melalui workshop ini. Diharapkan nanti muncul satu jejaring yang berkaitan dengan  proses advokasi untuk kasus-kasus perampasan tanah.”
Dalam workshop ini disepakati wadah apa yang akan digunakan sebagai proses untuk jejaring yang berkaitan dengan proses advokasi. Sehingga tahun 2021 mendatang sudah lebih fokus kepada proses advokasinya,  bagaimana data-data yang ada kemudian di advokasi kepada pemangku pemangku kepentingan dan terhadap pihak-pihak yang terkait baik Kementerian, Gubernur, Bupati dan pihak-pihak lainnya. “Dengan adanya proses advokasi nantinya diharapkan adanya perubahan kebijakan yang muncul dari regulasi-regulasi yang memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat di tanah Papua,” ungkapnya.
Saat disinggung kegiatan yang dilakukan Jerat apakah akan berlanjut atau tidak, Fadhal menyampaikan, kegiatan ini berlanjut atau tidak ini akan tergantung pada evaluasi proses akhir di akhir dari program di tahun 2021 pada bulan April,  namun jika melihat jejaringnya baru dibentuk tahun 2020, maka harus dilanjutkan. “Kalau tidak nanti jejaring yang sudah dibuat oleh teman-teman ini tidak bisa bekerja.
Sementara perampasan lahan ke depan ini akan lebih jauh lebih besar dengan adanya pemekaran kabupaten dan investasi yang dibuka kerannya oleh undang-undang omnibus law, itu nanti banyak investasi yang masuk,” jelasnya. “Artinya tantangan kedepan jauh lebih kompleks dan lebih berat, dan karena itu saya pikir teman-teman di Jerat setelah akhir dari program ini mereka akan melanjutkan program Land Grabbing untuk poros-poros ke depan,” sambungnya.
Lanjut Fadhal, berbicara data Papua dan Papua Barat jika diletakkan dalam wilayah konsesi diatas tanah Papua, mengerikan sekali,  karena hampir seluruh tanah Papua sebenarnya sudah ada yang memiliki, dalam tanda kutip dimiliki oleh perusahaan-perusahaan. Baik itu tambang, HPH atau perusahaan perkebunan dan segala macam, sehingga menurutnya, sangat mengerikan. “Kalau kemudian kita berpikir untuk masa depan Papua, terutama hutan Papua, tapi juga masa depan dari anak cucu, tidak akan lagi melihat hutan sebagai kekayaan mereka. Teman-teman LSM memiliki data yang berbeda-beda, namun kalau kita lihat secara keseluruhan hampir seluruh tanah Papua, sejengkal tanah Papua itu sudah terpecahkan menjadi wilayah konsesi perusahaan-perusahaan dan itu sungguh- Sungguh sangat mengerikan untuk masa depan Papua, tetapi juga masa depan Indonesia sesungguhnya, karena satu-satunya paru-paru dunia yang ada di dunia saat ini. Selain di Karaguai  dan 2 wilayah lain termasuk Tanah Papua, dan ini Ancaman bagi kehidupan manusia di Indonesia, juga kehidupan manusia di dunia,” tegasnya.
Fadha berharap pemerintah harus lebih bijak bahwa apa yang hidup di tanah Papua ini adalah warga negara Indonesia yang  punya kewilayahan otoritas adat,  mereka sudah hidup disana beribu-ribu tahun dan kemudian sekarang kalaupun pembangunan itu dijalankan seharusnya pihak yang pertama ditanya tentang apakah pembangunan itu disetujui atau tidak itu adalah masyarakat adat, karena merekalah yang mempunyai tanah tetapi dampak dari proses pembangunan itu juga mereka yang akan rasa. (aa)

 


Komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.