Pembelajaran Era Pandemi dan Tantangan Pendidikan Karakter

0
Jamaluddin Dg Panrita
PANDEMI yang melanda negara kita sejak awal tahun 2020 ternyata harus berlanjut sampai saat ini. Kondisi dimana kebiasaan hidup berubah dari yang tidak biasa menjadi new normal  atau kehidupan era baru. Pola hidup terpaksa harus berubah drastis bahkan tanpa persiapan sama sekali. Pandemi ini memang tak pernah terduga akan terjadi. Hal ini mempengaruhi dunia pendidikan, sekolah yang biasanya buka setiap hari melayani perserta didik tiba-tiba harus dipaksa belajar secara online atau daring (dalam jaringan).
Istilah-istilah baru bermunculan seperti daring dan luring. Pembelajaran di sekolah yang dulunya hanya dilakukan dengan cara tatap muka langsung antara guru dan peserta didik sekarang menjadi belajar daring atau luring. Berbagai macam aplikasi pendukung pun tiba-tiba menjadi sering terdengar dan akhirnya familiar di telinga. Aplikasi pembelajaran ada yang merupakan milik pemerintah seperti Rumah Belajar dan adapula milik swasta seperti Google education< Microsoft 365 dan masih banyak lagi lainnya. Pembelajaran daring ini membutuhkan perangkat komputer dan atau telepon seluler yang terhubung dengan internet untuk dapat menggunakannya.
Kelebihan dari metode pembelajaran daring ini adalah siswa bisa belajar kapan saja dan dimana saja. Siswa tidak harus datang sekolah dan memiliki keleluasaan untuk memilih waktu belajar. Peserta didik juga dapat berinteraksi dengan guru melalui live chat atau video call. Namun demikian pembelajaran daring ini juga memiliki kekurangan. Peserta didik yang tidak terhubung dengan internet atau berada pada area tanpa sinyal akan kesulitan belajar daring. Selain itu juga peserta didik harus memilik perangkat komputer dan tau telepon seluler untuk dapat belajar daring.
Berdasarkan data kemendikbud yang termuat pada artikel harian kompas (https://www.kompas.com/edu/read/2020/09/30/095832871/kemendikbud-41000-sekolah-belum-terhubung-jaringan-internet?page=all)  menyatakan bahwa 41.000 sekolah belum terhubung dengan jaringan internet. Bukan hanya itu di wilayah yang terjangkau jaringan seluler juga tidak sedikit yang sering mengeluhkan internet lemot. Dengan demikian keadaan ini menjadi  pekerjaan rumah yang masih harus dikerjakan bersama. Karena sebagai penulis yang bekerja sebagai pendidik sangat merasakan dampak ini. Bagaimana tidak pemebelajaran tatap muka yang berubah jadi daring tanpa dibarengi dengan fasilitas penunjang tentunya mustahil tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Pendidikan karakter
Menurtu Thomas Lickona menekankan dalam pendidikan karakter harus memiliki tiga komponen karakter yang baik yang disepakati secara global, yaitu: (1) Memiliki pengetahuan tentang moral dan etika dalam bermasyarakat; (2) Memiliki perasaan yang sesuai dengan moral; (3) Melakukan perbuatan – perbuatan yang sesuai dengan nilai – nilai moral. Ketiga karakter ini berlaku secara global di seluruh dunia secara fitrah manusia. Untuk mencapai ketiga karakter ini diperlukan tiga tempat pendidikan yang bekerja secara bersamaan yaitu rumah, sekolah, dan masyarakat.
Sementara UNESCO sendiri mencanangkan empat pilar pendidikan yakni: (1) Belajar agar mendapatkan ilmu pengetahuan, (2) Belajar agar mendapatkan keterampilan, (3) Belajar agar bisa menjadi dirinya sendiri dan bermanfaat untuk orang lain, dan (4) Belajar agar bisa hidup bermasyarakat secara global. Keempat pilar tersebut secara sinergi membentuk dan membangun pola pikir pendidikan. UNESCO menekankan betapa pentingnya pendidikan karakter sehingga memasukannya menjadi pilar pendidikan seluruh dunia.
Pendidikan karakter di masa pandemi atau pembelajaran mengalami perubahan. Kegiatan belajar yang biasanya mulai pagi menjadi tanggungjawab dan dalam pengawasan guru, kini harus berbagi dengan orangtua di rumah. Peran orangtua untuk mendidik dan menanamkan nilai-nilai etika, moral dan kedisiplinan malah menjadi lebih dominan.
Sebagai seorang pendidik penulis merasakan sendiri perubahan ini. Salah satu contoh dulu saat sebelum pandemi kita bisa dengan terbiasa menanamkan kedisiplinan bagi peserta didik mulai dari pagi masuk sekolah, belajar dalam kelas bahkan aturan sampai jam pulang sekolah. Kebiasaan-kebiasan hidup berdisiplin berubah saat pandemi dan belajar daring berlaku. Guru tidak mampu lagi sepenuhnya mengatur peserta didik melainkan perlu keseriusan orangtua untuk mengambil peran yang lebih banyak. Ini belum termasuk bagaimana proses dan pencapaian belajar di rumah ini tentu perlu pembahasan dan kajian lebih dalam.
Sementara itu ditengah berjalannya belajar daring ini kita juga malah sering mendengar, menonton dari berbagai media tentang meningkatnya angka kekerasan pada anak selama pandemi. Hal ini disampaikan oleh pakar Yulina Eva Riany melalui salah satu berita di media antara news (https://www.antaranews.com/berita/1791245/pakar-kekerasan-terhadap-anak-meningkat-selama-pandemi-covid-19) . Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menemukan kekerasan terhadap anak mencapai 5.697 kasus dengan 5.135 korban mulai 1 Januari 2020 hingga 23 September 2020.
Tentunya dengan fakta-fakta tersebut, layaknya menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah maupun seluruh elemen untuk memikirkan dan mencari solusi terbaik agar pendidikan karakter bagi anak tetap terjaga sesuai empat pilar yang dicanangkan UNESCO. Semoga pandemi segera berakhir karena bagi penulis pembelajaran daring tidak akan bisa menggantikan pembelajaran tatap muka.
Penulis: Jamaluddin Dg Panrita
(Duta Rumah Belajar Papua Barat 2019)

Komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.