JAKARTA, KLIKPAPUA.com– Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) menggelar rapat pleno penetapan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama perwakilan masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil tentang usulan perubahan perubahan UUD 21 tahun 2001.
Rapat pleno RDP dipimpin langsung oleh Ketua MRPB, Maxsi Nelson Ahoren, Selasa (22/12/2020) yang dihadiri 24 anggota MRPB, 17 tidak hadir, 1 berhalangan. Rapat pleno dimulai dengan membacakan daftar hadir, serta paparan hasil RDP I dan RDP II oleh Tenaga Ahli MRPB, Solikin.
Ketua MRPB Maxsi Nelson Ahoren menjelaskan, MRPB telah menyelesaikan pelaksanaan penjaringan aspirasi orang asli Papua terkait usulan perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, penjaringan aspirasi ini dilakukan melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP), bahwa sesuai ketentuan UU Nomor 21 Tahun 2001 pasal 77, termasuk usulan perubahan atas Undang-Undang yang dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua Barat melalui MRP dan DPRP kepada DPR RI atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan ini, menurut Maxsi, menjadi dasar hukum bagi MRP untuk menerima aspirasi orang asli Papua melalui mekanisme RDP. “Penerimaan aspirasi ini tidak hanya mengenai usulan perubahan undang-undang otonomi khusus Papua, tetapi lebih banyak tentang penilaian terhadap pelaksanaan otonomi khusus dan hasilnya,” ujar Maxsi dalam rapat pleno yang dilaksanakan di salah satu hotel di Jakarta.
Lanjut Maxsi menjelaskan, penjaringan aspirasi orang asli Papua sebagaimana dimaksud dilandaskan pada nilai dan prinsip luhur yang terkandung di dalam konstitusi Negara yaitu UUD 1945 pasal 28 E ayat 3 yang menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat berkumpul dan mengeluarkan pendapat, ketentuan ini dimaksud agar orang asli Papua yang menjadi sasaran pelaksanaan Otsus dapat bebas secara bertanggung jawab, terlindungi hukum, diberikan kesempatan menyampaikan pendapatnya tentang hal-hal terkait Otsus.
“MRPB melakukan 2 kali RDP dengan menghadirkan perwakilan orang asli Papua yang dihimpun dari berbagai latar belakang organisasi masyarakat sipil dengan menghadirkan perwakilan-perwakilan masyarakat adat Papua dari wilayah adat Bomberay dan Domberai atau perwakilan dari kabupaten kota se Provinsi Papua Barat,” ungkap Maxsi.
Otsus Papua, lanjut Maxsi, merupakan keputusan politik yang baik dari pemerintah bagi orang asli Papua, dimana beberapa kewenangan tertentu dalam urusan pemerintah diberikan kepada daerah. Ini dimaksudkan agar pemerintah daerah memiliki kewenangan lebih besar mengelola keurusan tertentu pemerintahannya, serta membangun masyarakat dan daerahnya. “Niat baik ini tercermin jelas dalam tujuan Otsus Papua itu sendiri yaitu mewujudkan keadilan Sejahtera dan kemakmuran sebesar-besarnya bagi orang asli Papua,” jelasnya.
Selama hampir 20 tahun pelaksanaan Otsus, aku Maxsi, tidak bisa dipungkiri telah banyak program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Hal ini nyata adanya dan dirasakan, namun demikian tidak dapat mengabaikan banyaknya kekurangan dan masalah yang lahir dari pelaksanaan Otsus itu sendiri atau dapat dilaksanakan Otsus Papua berhasil menjawab banyak masalah, tetapi juga menciptakan masalah baru bagi orang asli Papua, terutama yang berhubungan dengan penghormatan dan penghargaan dan perlindungan identitas harkat dan martabat orang asli Papua sebagai warga Negara Indonesia.
“Masalah yang disebut di atas tidak dapat dipresentasikan menggunakan angka dan rumus ekonomi, kecuali pemerintah membuka ruang dialog yang adil untuk mendengar berbagai suara orang asli Papua bagi rakyatnya. Dialog yang adil ini harus mengikut sertakan seluruh komponen rakyat Papua baik itu pihak yang tidak mendukung pemerintah ataupun pihak yang berseberangan. Ini maksudnya agar pemerintah dapat mengetahui secara jelas isi hati orang asli Papua tentang Otsus Papua,” tandasnya.
Membicarakan Otsus Papua sebagai hasil kesepakatan politik pemerintah dan perwakilan orang asli Papua dimana perwakilan orang asli Papua ini sepakat dengan pemerintah dengan modal kepercayaan dari rakyat Papua.
Kesempatan ini dalam banyak hal terbukti mampu membangun Papua dan orang asli Papua sehingga sungguh disayangkan jika produk kesepakatan tersebut yang bernama undang-undang Otsus Papua proses perubahan yang mengabaikan suara seluruh komponen rakyat Papua atau hanya melibatkan beberapa kelompok elit Papua dan pemerintah daerah.
“Sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua, apa yang dilakukan oleh MRPB dalam hal ini semata-mata bertujuan untuk, pertama melaksanakan mandat yang diberikan UU Otsus Papua yaitu pasal 77, kedua menjalankan fungsi MRPB sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua yang berkewajiban melindungi hak-hak orang asli Papua, dan ketiga menerima dan menindaklanjuti aspirasi atau pengaduan orang asli Papua sebagai warga Negara Indonesia untuk diikutsertakan dalam proses perubahan UU tersebut,” katanya.
Lebih lanjut Maxsi menyampaikan seluruh aspirasi yang disampaikan rakyat Papua kepada MRPB, apapun bentuk isi dan sifatnya seperti itu, juga yang disampaikan MRPB kepada DPR dan pemerintah. MRPB tidak mengurangi ataupun menambahi aspirasi rakyat tersebut. Seluruh aspirasi yang disampaikan kepada DPR dan pemerintah adalah murni aspirasi orang asli Papua.
“Tidak ada kepentingan lain di luar ketentuan peraturan undang-undang terkait dengan dituju MRPB. Apabila melakukan sesuatu gerakan atas nama kepentingan tertentu yang melanggar dan menentang pemerintah yang sah. Sebagai lembaga pemerintah daerah otonomi khusus MRPB taat kepada peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dan tujuan pembentukan MRP itu sendiri,” pungkasnya. (aa)