Gubernur, DPR-PB dan MRPB Perlu Duduk Samakan Presepsi untuk Permasalahan Papua

0
Ketua MRPB Maxsi Nelson Ahoren. (Foto: Aufrida/klikpapua)
MANOKWARI,KLIKPAPUA.com–  Ketua Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB), Maxsi Nelson Ahoren berharap dalam waktu dekat Gubernur, DPR Papua Barat dan MRPB bisa duduk bersama untuk menyamakan presepsi  untuk membahas masalah Otsus Papua. “Kita tidak bisa bertindak sendiri-sendiri atau berjalan sepihak melainkan kita harus menyamakan presepsi untuk permasalahan Orang Asli Papua,” tuturnya.
RDP (Rapat Dengar Pendapat) dan Pleno Penetapan telah dilakukan oleh MRPB dan telah selesai dilaksanakan belum lama ini, namun hari ini MRPB tinggal menunggu MRP Papua untuk sama-sama menyerahkan hasil RDP. “Kami sudah menyurat untuk meminta audiensi  bersama DPR RI  untuk menyerahkan hasil RDP, yang merupakan amanat dari seluruh rakyat Papua,” ujar Maxsi saat ditemui wartawan di ruang kerjanya, Kamis (21/1/2021).
Menurut Maxsi, inti dari RDP itu harus duduk bersama berbicara tentang komitmen dalam arti meminta kepada Jakarta untuk tidak terlalu cepat mengambil langkah untuk melakukan perubahan pada UU 21.
Perubahan UU 21 ini lahir di Papua sehingga setidaknya perlu duduk  untuk melakukan dialog. “Kami sudah minta kepada MRP-RI pada saat melakukan pertemuan di Jakarta  untuk segera melakukan pertemuan bersama-sama dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh perempuan dan tokoh pemuda dan seluruh komponen masyarakat baik yang  pro dan kontra, kami meminta untuk melakukan dialog,” ungkapnya. “Ini yang rakyat minta, rakyat suka, rakyat ingin, itu yang ingin kami sampaikan seperti itu tapi kan hari ini dengan bahasa dialog itu orang Jakarta merasa itu semacam ancaman bahwa orang Papua minta merdeka, ini yang salah sebenarnya,” sambungnya.
Menurut dia, MRPB  ingin menyampaikan apa yang menjadi aspirasi daripada masyarakat asli Papua kepada Negara.  Dan Negara juga harus menyampaikan apa keinginan mereka terhadap rakyat.  “Sekarang mereka minta dialog untuk berbicara, tapi pemerintah Jakarta tetap terus jalan tanpa mengindahkan apa yang menjadi keinginan masyarakat asli Papua,”  ungkap Maxsi.
Lanjut Maxsi, orang Papua sudah trauma jika berbicara tentang uang, karena uang ini menjadi akar permasalahan daripada orang Papua, sehingga hari ini tidak perlu berbicara masalah uang melainkan   berbicara tentang keberpihakkan terhadap Orang Asli Papua yang berada di dalam UU 21, yang mana pasal-pasal yang tidak berpihak kepada OAP dikeluarkan dan pasal-pasal yang mengikat OAP dipertahankan dan dikuatkan.
“Dan hari ini jika kita berbicara masalah pemekaran, maka pemekaran itu untuk siapa, paling tidak kita harus siapkan SDM-nya, manusianya dulu selamat  baru kita berbicara masalah pemekaran. Hari ini Negara meminta kita membuat Raperdasus  sudah kami ajukan namun akhirnya  ditolak karena bertentangan dengan Undang-undang  yang lebih tinggi, contohnya saja Raperdasus menyangkut Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati yang harus dua-duannya OAP,” tuturnya.
Hal-hal semacam inilah yang membuat akhirnya rakyat tidak percaya lagi kepada pemerintah, oleh karena itu Undang-Undang 21 ini yang menurut dia, memang harus direvisi secara baik oleh pemerintah Papua. Dan tidak bisa dilakukan revisi oleh Jakarta  secara sepihak.
Maxsi menambahkan, dikalangan masyarakat Orang Asli Papua sendiri terjadi petisi-petisi yang mendukung UU 21 tetap berlanjut dan menolak Otsus. “Saya rasa kita tidak bisa duduk diam dan tenang, hari ini saya berharap teman-teman yang ada di DPR khususnya untuk DPR fraksi itu harus bersuara, kita tidak bisa duduk diam.  DPR fraksi juga tidak bisa mengambil langkah untuk lebih, mereka harus mendengar apa yang kita bicara, mereka ini merupakan perwakilan masyarakat adat yang duduk di parlemen supaya berbicara masalah hak-hak legislasi.
Oleh karena itu saya berharap bahwa teman-teman dari DPR Otsus dan teman-teman dari DPR dan Gubernur, mari kita mencari momen yang tepat untuk kita duduk bersama-sama untuk segera menyampaikan pokok pikiran kita kepada Jakarta sebelum mereka melaksanakan perubahan atas undang-undang 21,” ajaknya.
Maxsi kembali menegaskan bahwa hari ini orang Papua tidak berbicara masalah uang, tetapi berbicara masalah keberpihakan, menjadi tuan di negeri sendiri.  “Pasal-pasal mana yang perlu kita rubah itu yang paling penting,  tapi kalau berbicara masalah uang saja saya yakin tidak akan menjawab masyarakat Papua punya keinginan. Tambahan dana Otsus dari DAU yang awalnya 2% menjadi 2,25% itu merupakan wacana yang sudah disampaikan 1 tahun, uang merupakan poko daripada masalah yang ada di Papua, karena uang bukan ukuran mau di tambah 5-10 persen tidak menyelesaikan masalah yang ada di Papua, kalau kita tidak duduk bersama untuk membicara ini,” pungkasnya. (aa)


Komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.