Oleh Hermanto – Wartawan senior
Orang menyangka tanah hanya menyimpan biji, akar, dan cacing. Tapi di Bantul, tanah menyimpan lebih dari itu—ia menyimpan waktu. Kadang waktu itu muncul dalam bentuk bata merah. Kadang ia mengalir sebagai saluran air kuno yang tak lagi membawa air ke mana-mana. Tapi semuanya masih ada, tinggal digali.
Sekitar 13 kilometer dari pusat Kota Yogyakarta, di Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, para arkeolog membuka satu bagian bumi yang lama tertutup rumput dan keraguan. Yang mereka temukan bukan sekadar susunan batu. Mereka menemukan jejak peradaban. Di dekat Jalan Raya Kedaton, tak jauh dari Museum Pleret, penggalian pada 2022 dan 2023 menemukan struktur dinding bata selebar 2,7 meter—dan sebuah saluran air kuno dari tanah liat, tersusun dalam kemiringan yang presisi, tertanam di kedalaman sekitar satu meter dari permukaan.
Ini bukan kebetulan. Di sinilah dahulu berdiri Keraton Pleret, istana megah dari Mataram Islam, dibangun oleh Amangkurat I pada tahun 1647 setelah memindahkan pusat kerajaan dari Karta. Kota baru ini hidup selama tiga dasawarsa sebelum akhirnya hancur terbakar dalam pemberontakan Trunajaya tahun 1677. Sejak itu, semuanya lenyap ditelan bumi dan pelan-pelan dilupakan. Tapi sebagaimana tanah menyimpan akar, ia juga menyimpan ingatan.
Dalam penggalian yang dilakukan di sekitar kompleks Kedaton IV, yang sebagian kini telah menjadi pekarangan warga dan area museum, temuan-temuan itu satu demi satu muncul ke permukaan. Bata, dinding, dan saluran air yang dulu menopang tata kota kini terbaring dalam diam—menunggu untuk dibaca ulang.
Saluran air kuno itu terdiri dari tabung tanah liat (disebut plempem) dengan panjang 62–66 cm dan diameter sekitar 35 cm, tersambung dalam kemiringan sekitar 10 derajat. Delapan segmen ditemukan dan diperkirakan merupakan sistem drainase bagian dalam keraton. Di permukaan, anak-anak masih bermain di lapangan. Mereka tidak tahu bahwa di bawah kaki mereka, pernah berdiri benteng kerajaan.
Penggalian dilakukan dua tahap: Maret 2022 dan Februari–Maret 2023. Setelah itu, penggalian dihentikan. Temuan-temuan ditutup kembali dengan tanah demi konservasi, dan kini hanya tersisa gundukan kecil dengan papan penanda “lokasi ekskavasi”. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, melalui Dinas Kebudayaan, merancang pembangunan museum situs terbuka di kawasan itu, dengan ketentuan batas aman minimal empat meter dari struktur asli. Namun hingga pertengahan 2025 ini, belum ada kabar resmi kapan tahap lanjutan dimulai.
Masjid Kauman Pleret—dibangun tahun 1649 oleh Amangkurat I—masih berdiri sekitar 700 meter dari lokasi ekskavasi. Masjid tua itu menyimpan 23 umpak batu asli era keraton, sebagian besar masih tertanam di halaman dan sisi bangunan. Lokasinya menjadi penanda diam bahwa jejak peradaban besar pernah mengalir di sekeliling desa yang kini tampak biasa.
Dalam sebuah obrolan budaya di tahun-tahun lalu, budayawan KH Ainu Najib pernah berujar, “Kelak, di Bantul akan ditemukan candi yang lebih besar dari Borobudur.” Mungkin ia tak sedang bicara tentang bangunan menjulang, melainkan peradaban yang terkubur—dan tak pernah benar-benar disingkap. Kata-kata itu kini terdengar seperti bisikan dari masa lalu yang mulai terbukti. Bahwa tanah yang terlihat tenang, sebenarnya menyimpan sesuatu yang bergolak.
Pleret hari ini dikenal karena sate klatak, gang-gang kecil yang rapi, dan jalan alternatif ke Imogiri. Tapi sedikit yang tahu bahwa desa itu berdiri di atas lapisan sejarah. Bahwa di bawah rumah, kebun, dan mushola, tersimpan fondasi lama yang pernah menopang raja dan rakyatnya. Bahwa kita hidup di atas reruntuhan istana, tanpa pernah benar-benar menunduk untuk melihat.
Sejarah bukan selalu soal mahkota dan pedang. Kadang ia hadir dalam selokan, dalam bata yang hangus, dalam potongan keramik yang tersisa. Tapi justru dari serpihan itulah terbentuk wajah kita hari ini. Yang besar tak selalu tampak. Dan yang penting sering kali tertimbun diam-diam.
Tanah Pleret bukan kosong. Ia adalah halaman buku yang belum kita buka. Dan masyarakat kita, yang sibuk membangun ke atas, sering lupa menengok ke bawah. Mungkin karena lupa. Mungkin karena tak diajarkan.
Kini, ketika satu lubang kecil di Pleret terbuka, suara masa lalu itu muncul kembali. Ia tak memaksa untuk didengar. Tapi ia tetap berbicara. Dan barangkali, seperti air dalam saluran tanah liat yang tak lagi mengalir, suara itu sedang mencari jalannya sendiri untuk keluar.
Dan kita, jika masih ingin tahu siapa diri kita sebenarnya, perlu mendengarnya pelan-pelan.