Dua nelayan bersiap memasang mesin perahunya untuk melaut di kampung nelayan Kelurahan Fitu Ternate, Maluku Utara, Minggu (14/9/2025). Kementerian Kelautan dan Perikanan menganggarkan Rp2,2 triliun untuk serap ribuan tenaga kerja dan mendirikan 1.100 Kampung Nelayan Merah Putih dalam lima tahun ke depan yang dimulai dengan 100 lokasi di tahun 2025 dengan membangun fasilitas seperti dermaga, gudang beku, serta sentra kuliner sebagai wujud nyata dalam memperkuat kemandirian dan kesejahteraan masyarakat nelayan secara berkelanjutan. ANTARA FOTO/Andri Saputra/bar
JAKARTA – Desa Samber-Binyeri di Kabupaten Biak Numfor, Papua, dulunya hanyalah kampung nelayan tradisional. Minim fasilitas, tanpa dermaga kapal, docking, atau ruang penyimpanan dingin (cold storage) untuk menyimpan hasil tangkapan. Kini, wajah kampung itu berubah total.
Berkat intervensi pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Samber-Binyeri telah bertransformasi menjadi kampung nelayan modern, bahkan menjadi simbol kemajuan pesisir Indonesia.
Melalui investasi sebesar Rp22,1 miliar, pemerintah membangun berbagai fasilitas penunjang aktivitas perikanan di kampung nelayan itu, seperti dermaga tambatan kapal, pabrik es, sentra kuliner, cold storage, pangkalan pendaratan ikan, kios perbekalan, hingga dockyard.
Kampung nelayan Desa Samber-Binyeri dihuni oleh 160 nelayan yang mengoperasikan 12 sampan dan 93 perahu motor. Jenis tangkapan utama adalah ikan tuna, cakalang, tongkol, dengan rata-rata hasil tangkapan mencapai 100–200 kg per perahu per hari.
Sekitar 70 persen dari total ikan yang dijual di sentra perikanan di Biak Numfor Pasar Ikan Fandoi berasal dari kampung nelayan ini, yakni sekitar 800–1.000 kg per hari.
KKP mencatat, sebelum modernisasi, pendapatan warga di kampung nelayan hanya berkisar Rp3 juta per bulan, di bawah upah minimum kabupaten (UMK) Biak yang sebesar Rp3,8 juta.
Namun, sejak kampung nelayan itu diresmikan pada 23 November 2023, pendapatan nelayan meningkat signifikan hingga mencapai Rp6 juta per bulan. Koperasi Produsen Samber Binyeri Maju menjadi pengelola utama aset kampung nelayan modern ini.
Koperasi di kampung nelayan tersebut mengelola berbagai unit usaha, seperti pabrik es, balai pelatihan, sentra kuliner, gedung beku, bengkel nelayan, kios persediaan, kantor, docking kapal, dan cold storage.
Bahkan, koperasi di kampung nelayan itu telah rutin mengirimkan hasil tangkapan ikan para nelayan ke Pulau Jawa. Berdasarkan data KKP, total volume pengiriman telah mencapai 183,27 ton dengan nilai transaksi mencapai Rp3,15 miliar.
Pemerintah, saat ini membangun banyak kampung nelayan yang mencontoh model Kampung Nelayan Samber-Binyeri ke berbagai wilayah pesisir lainnya, melalui program Kampung Nelayan Merah Putih (KNMP).
Inisiatif ini dirancang untuk membangun 100 kampung nelayan modern pada tahun 2025 sebagai tahap awal dari rencana jangka panjang membentuk 1.100 kampung nelayan di seluruh Indonesia, hingga tahun 2028.
Salah satu kriteria utama pembangunan KNMP adalah desa tersebut harus memiliki lebih dari 80 persen penduduk yang berprofesi sebagai nelayan atau pembudidaya ikan dan terintegrasi dengan koperasi desa/kelurahan Merah Putih (KDKMP).
KKP mencatat, dari 12.968 desa tepi laut di Indonesia, sekitar 1.300 desa sudah memiliki koperasi, dan berpotensi menjadi lokasi untuk program ini.
100 kampung nelayan
Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menetapkan 65 lokasi untuk pembangunan Kampung Nelayan Merah Putih tahap pertama, yang menjadi langkah awal dari target 100 kampung nelayan yang akan dibangun tahun ini.
Pembangunan 65 kampung yang siap dikerjakan pada tahap pertama memakan anggaran sebesar Rp1,34 triliun. Sementara itu, 35 lokasi sisanya akan mulai dibangun pada akhir Oktober 2025. Targetnya, 100 kampung nelayan itu selesai dibangun akhir tahun ini. Setiap lokasi kampung nelayan diperkirakan membutuhkan anggaran Rp20,6 miliar.
Pemerintah akan melakukan intervensi dengan membangunkan sarana dan prasarana produksi, seperti dermaga kapal, cold storage, pabrik es, bengkel nelayan, tambatan kapal, stasiun pengisian bahan bakar nelayan (SPBUN), kantor pengelola, serta bantuan 10 unit kapal berbobot 3 gros ton (GT) yang disesuaikan dengan kebutuhan lokal.
Seluruh fasilitas ini akan menjadi unit bisnis yang dikelola oleh Koperasi Desa Merah Putih yang beranggotakan para nelayan.
Program 100 KNMP ini diproyeksikan menciptakan 7.000 lapangan kerja permanen dan 20.000 pekerjaan konstruksi non-permanen.
Tantangan
Keberhasilan program KNMP tidak lepas dari sejumlah tantangan yang harus dihadapi. Salah satu tantangan utama adalah kesiapan infrastruktur, sarana produksi, serta kapasitas masyarakat dalam mengelola fasilitas yang tersedia.
Selain itu, ketersediaan bahan bakar minyak (BBM) menjadi isu krusial yang sangat mempengaruhi operasional nelayan. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), BBM menyumbang sekitar 60–70 persen dari total biaya melaut.
Untuk mengatasi ini, pemerintah setiap tahun mengalokasikan kuota BBM bersubsidi bagi nelayan dengan kapal berbobot di bawah 30 GT sebagai bentuk dukungan terhadap aktivitas penangkapan ikan. Kebanyakan nelayan dengan kapal seberat di bawah 30 GT merupakan nelayan kecil.
Namun, realisasi pemanfaatan BBM bersubsidi masih jauh dari harapan. Vice President Retail Fuel Sales Pertamina Patra Niaga Windrian Kurniawan mengungkapkan bahwa dari total alokasi BBM bersubsidi untuk nelayan sebesar 2,2 juta kiloliter, pemanfaatannya baru mencapai 40–50 persen.
Salah satu penyebab rendahnya penyerapan tersebut adalah terbatasnya infrastruktur SPBUN. Hingga Agustus 2025, hanya terdapat 416 SPBUN yang beroperasi, dengan 88 lokasi tambahan dalam tahap pembangunan dan 18 permohonan baru yang masih diproses.
Proses perizinan pembangunan SPBUN juga tergolong kompleks dan memakan waktu. Pengajuan izin melibatkan rekomendasi dari dinas kelautan dan perikanan di tingkat kota/kabupaten, provinsi, hingga Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Registrasi kemitraan SPBU nelayan, bahkan dapat memakan waktu hingga 57 hari kerja, atau sekitar tiga bulan, sehingga memperlambat perluasan akses BBM bersubsidi.
Di sisi lain, jangkauan manfaat BBM bersubsidi belum sepenuhnya menyentuh nelayan kecil dan tradisional. Survei nasional KNTI yang dilakukan pada periode 1 April hingga 21 Mei 2021 terhadap 5.292 nelayan di 25 kabupaten/kota pesisir menunjukkan bahwa penyaluran BBM bersubsidi belum tepat sasaran.
Salah satu temuan utama dari survei tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan dan kapal mereka belum tercatat dalam sistem administrasi perikanan. Hampir 70 persen nelayan tidak memiliki kartu nelayan, 87 persen tidak memiliki bukti pencatatan kapal, dan 74 persen tidak memegang Pas Kecil sebagai dokumen resmi untuk melaut.
Lebih dari 70 persen nelayan, bahkan mengaku tidak mengetahui cara mengurus dokumen-dokumen tersebut.
Karena tidak memiliki kelengkapan administrasi perikanan, nelayan kecil dan tradisional kehilangan akses terhadap berbagai fasilitas, kebijakan, dan program pemerintah yang seharusnya dapat membantu meningkatkan kesejahteraan mereka.
Ketimpangan ini menunjukkan bahwa tantangan dalam penyaluran BBM bersubsidi bukan hanya soal infrastruktur, tetapi juga menyangkut aspek legalitas dan kapasitas masyarakat dalam mengakses hak-haknya.
Melihat kompleksitas tantangan tersebut, pemerintah perlu melakukan intervensi yang lebih strategis dan terintegrasi.
Upaya percepatan pembangunan SPBUN, penyederhanaan proses perizinan, serta pendampingan administratif bagi nelayan menjadi langkah penting untuk memastikan akses BBM bersubsidi yang lebih merata dan tepat sasaran.
Dengan demikian, program KNMP dapat berjalan lebih efektif dan memberikan dampak nyata bagi kehidupan masyarakat pesisir serta mendorong pengembangan ekonomi desa.
Membangun ekonomi desa
Program Kampung Nelayan Merah Putih harus dipastikan tidak berhenti sebagai proyek pembangunan infrastruktur semata.
Lebih dari itu, KNMP harus menjadi gerakan menyeluruh yang mendorong pengembangan ekonomi desa dan peningkatan kapasitas masyarakat—terutama nelayan tradisional yang selama ini menjadi tulang punggung kehidupan pesisir.
Setidaknya ada dua aspek utama yang harus menjadi fokus dalam pelaksanaan program ini. Pertama, adalah penguatan produksi masyarakat, terutama nelayan. Desa merupakan pusat kekayaan sumber daya ekonomi, mulai dari pertanian, perikanan, hingga kelautan.
Maka, pembangunan ekonomi harus diarahkan pada penguatan sarana dan prasarana produksi agar masyarakat dapat meningkatkan hasil dan kualitas produksinya, sekaligus memperluas akses pasar.
Nelayan, sebagai pelaku utama di wilayah pesisir, membutuhkan dukungan nyata dalam bentuk alat tangkap, tempat penyimpanan hasil laut, serta akses terhadap bahan bakar dan logistik. Ketika sarana produksi diperkuat, maka produktivitas dan daya saing nelayan pun akan meningkat.
Kedua, penguatan kelembagaan ekonomi rakyat. Potensi ekonomi desa tidak akan berkelanjutan tanpa kelembagaan yang mampu mengelola dan mengonsolidasikan sumber daya secara kolektif.
Nelayan kecil dengan skala produksi terbatas membutuhkan wadah, seperti koperasi untuk memperkuat posisi mereka dalam rantai pasok dan distribusi.
Koperasi berperan penting sebagai pengelola unit usaha, penyedia layanan produksi, dan penghubung antara nelayan dengan pasar. Melalui konsolidasi ekonomi berbasis koperasi, kampung-kampung pesisir dapat berkembang menjadi pusat industrialisasi kerakyatan, di mana proses hilirisasi produk perikanan dan kelautan dilakukan langsung oleh masyarakat.
Dengan pendekatan ini, kampung nelayan tidak hanya menjadi tempat tinggal, tetapi juga menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang mandiri, produktif, dan berkelanjutan.
KNMP harus dijalankan dengan pendekatan terpadu, menggabungkan pembangunan fisik, pemberdayaan ekonomi, dan pengembangan kapasitas sumber daya manusia.
Jika dijalankan secara konsisten dan partisipatif, program ini berpotensi menjadi simbol transformasi pesisir Indonesia. Bukan sekadar membangun desa, tetapi juga membangun harapan, kemandirian, dan masa depan yang lebih cerah bagi jutaan nelayan di seluruh negeri. (ANTARA)