MANOKWARI,KLIKPAPUA.com- DPR Papua Barat (DPRPB) melaksanakan sosialisasi tiga Peraturan Daerah (Perda), di Kabupaten Pegunungan Arfak (Pegaf) pada, Senin (23/6/2025).
Adapun ketiga Perda dimaksud antara lain, Perda Nomor 5 Tahun 2023 Tentang Pertambangan Rakyat; Perda Nomor 17 Tahun 2022 Tentang Perlindungan dan Pengembangan Suku-suku Terisolasi, Terpencil, dan Terbaikan.
Juga Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Papua Barat Nomor 9 Tahun 2019 Tentang Pedoman, Pengakuan, Perlindungan, Pemberdayaan Masyarakat adat dan Wilayah Adat di Provinsi Papua Barat.
Kegiatan sosialisasi dilaksanakan oleh Tim DPRPB di Distrik Minyambouw, yang dihadiri oleh perwakilan masyarakat dan aparatur pemerintah setempat.
“Kita tahu dan lihat selama ini, oknum-oknum yang masuk untuk aktivitas tambang secara ilegal. Hak masyarakat pemilik ulayat ini belum mendapatkan hak yang semestinya,” ujar ketua Tim Sosialisasi, Aloysius Paulus Siep.
Tujuan dari sosialisasi tiga perda ini sangat jelas, yakni untuk perlindungan masyarakat adat, hukum adat, dan pertambangan rakyat.
Perda pertambangan rakyat ini, sebut Aloysius, menjadi payung hukum bagi masyarakat adat atau pemilik ulayat untuk mendapatkan izin melakukan aktivitas pertambangan, yakni izin pertambangan rakyat (IPR).
Minyambouw menjadi lokasi sosialisasi perda ini, karena di wilayah ini terdapat 37 kampung dengan titik atau lokasi pertambangan yang cukup banyak.
“Ada beberapa kampung yang sudah mendirikan koperasi pengeloloaan tambang,” kata Anggota DPRPB Nakeus Muid soal lokasi kegiatan sosialisasi.
DPRPB akan mengawal implementasi perda terutama, perda pertambangan rakyat. Dengan demikian, masyarakat dapat mengelola secara mandiri atau perorangan, juga menggandeng investor dengan modal yang memadai.
“Selama ini, berdasarkan laporan masyarakat, kalau sementara menambang dan tiba-tiba ada aparat naik, mereka takut dan lari karena takut. Semoga dengan perda ini, hak terscbut bisa tindaklanjuti,” ucap Aloysius Siep.
Nakeus Muid mengapresiasi kehadiran dan respon masyarakat dalam kegiatan sosialisasi tiga perda tersebut.
Ia mengatakan, antusias tinggi masyarakat, menunjukkan kesadaran masyarakat dalam mengelola sumber daya alam secara terukur dan sesuai dengan koridor aturan.
“Masyarakat sangat responsif, mereka bertanya soal izin aktivitas tambang yang sudah berjalan selama ini. Seperti apa izin yang akan dikeluarkan nantinya, kami memberikan pemahaman terkait hal itu,” ujarnya.
Dalam konteks kepemilikan adat, potensi pertambangan di wilayah Pegunungan Arfak harus didukung dengan peta wilayah adat yang mengatur batas-batas kepemilikan hak ulayat.
“Kita tahu data tersebut sudah ada. Lokasi tambanga itu ada di Minyambouw, Catubouw, Testega, Anggi, dan Taige,” ungkap Nakeus.
Guna menghindari konflik antar pemilik ulayat, juga memudahkan proses perizinan. Masyarakat pemilik ulayat didorong perlu membentuk asosiasi atau kelompok. Agar mendapatkan izin terkait penetapan wilayah pertambangan rakyat.
“Proses ini penting dilakukan untuk mengusulkan izin mulai dari tingkat daerah hingga di tingkat kementerian. Wilayah pertambangan rakyat ini menjadi dasar buat gubernur mengeluarkan izin pertambangan rakyat,” paparnya.
Nakeus menambahkan, potensi pertambangan di kabupaten Pegunungan Arfak cukup banyak. Tak terbatas pada logam mulia atau emas saja.
“Di Pegunungan Arfak ini bukan hanya emas saja. Ada nikel dan sumber daya alam lainnya. Elemen masyarakat yang hadir pada kesempatan sosialsiasi ini bersyukur dengan perda yang sudah ada. Ini bisa lindungi hak dan potensi yang ada,” tutupnya.
Nakeus menambahkan, pengelolaan potensi SDA yang ada tersebut selama ini belum jelas. Justru kondisi tersebut selama ini dimanfaatkan oknum-oknum, juga elit politik yang masuk ke wilayah Pegaf tanpa mengantongi izin.
“Ketika alami kecelakaan atau bencana itu, lebih karena mengabaikan hak masyarakat adat yang telah menyatu dengan alamnya. Masuk di rumah orang, harus ketuk dan izin. Jangan langsung masuk begitu saja,” tandasnya. (red)