KLIKPAPUA.COM,JAKARTA – Undang-Undang Dasar 1945 alinea Keempat menyatakan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.
Pernyataan ini merupakan komitmen negara untuk melindungi warganya untuk hidup sejahtera dan tangguh dalam mengelola risiko bencana, ungkap Syafrizal Direktur Managemen Penanggulangan Bencana dan Kebakaran, Ditjen Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri.
Selanjutnya ia juga menuturkan bahwa letak Geografis Indonesia yang berupa negara kepulauan (archipelagic state) dan berada pada pertemuan lempeng tektonik dunia yang bergerak aktif setiap tahunnya serta sabuk vulkanik yang membentang di Kepulauan Indonesia dikenal dengan istilah ”Ring of Fire”, selanjutnya Istilah tersebut menjadikan Indonesia sebagai salah satu Negara yang rawan terhadap bencana alam. Pada tataran internasional, salah satu langkah strategis dalam rangka ”Membangun Ketangguhan Bangsa Melalui Upaya Pengurangan Risiko Bencana”, yaitu melalui implementasi komitmen dunia dalam pencapaian target global yang tertuang dalam kerangka kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana (Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015–2030).
Syafrizal menegaskan dalam hal implementasi kebijakan penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu sebagai berikut:
a. Aspek pembagian urusan pemerintahan terkait kebencanaan diatur dalam pasal 12 ayat (1) huruf ‘e’ menyatakan bahwa penanggulangan bencana masuk dalam rumpun urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar yaitu pada rumpun urusan pemerintahan bidang ketenteraman dan ketertiban umum serta perlindungan masyarakat. Konsekuensi menjadi urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar memiliki makna bahwa penyelenggaraan urusan wajib terkait pelayanan dasar harus memiliki kriteria, sbb:
Pertama, bersifat layanan dasar yang disediakan pemerintah kepada masyarakat;
Kedua, pelaksanaannya berpedoman pada standar pelayanan minimal;
Ketiga, merupakan prioritas urusan yang harus dilaksanakan di daerah;
Keempat, memerlukan kelembagaan perangkat daerah yang kuat (struktur, personil, peralatan dan anggaran);
Kelima, pengarusutamaan PRB dalam perencanaan dan penganggaran secara integratif.
Selain itu dari aspek perencanaan terkait kebencanaan diatur dalam pasal 18, sebagai berikut:
pertama, ayat (1) menyatakan bahwa penyelenggaran pemerintahan daerah memprioritaskan pelaksanaan urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar.
Kedua, ayat (2) menyatakan bahwa pelaksanaan pelayanan dasar pada urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal yang ditetapkan oleh Pemerintah.
c. Aspek penganggaran terkait kebencanaan diatur dalam pasal 298 ayat (1) menyatakan bahwa belanja Daerah diprioritaskan untuk mendanai Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar yang ditetapkan dengan standar pelayanan minimal.
Sementara, implementasi kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal, termasuk pemenuhan Standar pelayanan minimal bidang penanggulangan bencana, yang mengatur mengenai ketentuan mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan pemerintahan wajib yang berhak diperoleh setiap Warga Negara secara minimal. Penerapan Standar Pelayanan Minimal adalah guna memastikan program dan anggaran daerah diprioritaskan untuk menjamin terpenuhinya hak konstitusional setiap Warga Negara. Terdapat tiga jenis pelayanan dasar dalam penanggulangan bencana yang wajib disediakan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota kepada setiap warga negara secara minimal, sebagai berikut:
a. Pelayanan informasi rawan bencana;
b. Pelayanan pencegahan dan kesiapsiagaan terhadap bencana;
c. Pelayanan penyelamatan dan evakuasi korban bencana.
Sedangkan, implementasi kebijakan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 101 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal Sub-Urusan Bencana Daerah Kabupaten/Kota.
Arah kebijakan penanggulangan bencana ke depan adalah melalui penerapan Standar Pelayanan Minimal Sub-Urusan Bencana daerah kabupaten/kota. SPM bersifat wajib dan prioritas dilaksanakan oleh daerah kabupaten/kota, sedangkan provinsi melaksanakan pemenuhan SPM sub-urusan bencana daerah kabupaten/kota khususnya dalam pemenuhan anggaran sesuai NSPK yang ditetapkan Pemerintah Pusat, salah satunya penerapan Rancangan Permendagri yang tentang nomenklatur program dan kegiatan PB.
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 101 Tahun 2018, pemerintah daerah kabupaten/kota wajib menyediakan tiga jenis pelayanan dasar dalam penanggulangan bencana kepada setiap warga negara secara minimal, sebagai berikut:
Pertama, pelayanan informasi rawan bencana, yaitu pelayanan informasi tentang bagian wilayah kabupaten/kota rawan bencana secara terperinci berbasis kajian risiko bencana kepada warga negara yang berada di kawasan rawan bencana dan yang berpotensi terpapar bencana. Salah satu layanan yang dilakukan adalah melakukan sosialisasi, komunikasi, informasi dan edukasi rawan bencana yaitu untuk lebih memahami berbagai ancaman bencana yang ada di wilayahnya, bagaimana cara mengurangi ancaman (hazards) dan kerentanan (vulnerability) yang dimiliki, serta meningkatkan kemampuan (capacity) dalam menghadapi ancaman/dampak bencana.
Kedua, pelayanan pencegahan dan kesiapsiagaan terhadap bencana, yaitu serangkaian kegiatan pra bencana melalui pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan pemerintah daerah dan warga negara dalam menghadapi bencana. Salah satu layanan yang dilakukan adalah pelaksanaan gladi kesiapsiagaan bencana bagi warga negara dalam bentuk simulasi dan gladi lapang sesuai dengan Rencana Penanggulangan Bencana dan Rencana Kontinjensi yang telah disusun.
Ketiga, pelayanan penyelamatan dan evakuasi korban bencana, yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dan menyelamatkan korban bencana. Salah satu layanan yang dilakukan adalah memberikan layanan pencarian, pertolongan dan evakuasi korban bencana.
Dalam hal ini Syafrizal memaparkan rencana strategis ke depan penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Pertama, pemetaan daerah rawan bencana, dimana mewajibkan pemerintah kabupaten/kota untuk memetakan daerah rawan bencana yang disusun dalam (1) dokumen kajian risiko bencana, (2) dokumen rencana penanggulangan bencana dan (3) dokumen rencana kontinjensi per jenis ancaman bencana, langkah ini untuk memastikan penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah dapat berjalan optimal.
Kedua, kementerian Dalam Negeri setiap tahun melakukan evaluasi terhadap dokumen RPJMD Provinsi dan Kabupaten/Kota dan melakukan penelaahan (review) terhadap rencana penyusunan dokumen RPJMD Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memastikan penyelenggaraan penanggulangan bencana menjadi prioritas dalam dokumen perencanaan dan penganggaran daerah.
Ketiga, sebagai pedoman bagi pemerintah daerah, Kementerian Dalam Negeri setiap tahun menerbitkan pedoman bagi pemerintah daerah dalam Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (Permendagri Nomor 31 Tahun 2019) dan Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Permendagri Nomor 33 Tahun 2019), salah satu substansi yang diatur dalam pedoman tersebut adalah arah kebijakan pada aspek perencanaan dan belanja daerah diprioritaskan untuk mendanai urusan pemerintahan wajib terkait pelayanan dasar yang ditetapkan dengan Standar Pelayanan Minimal termasuk penyelenggaraan penanggulangan bencana (termasuk ketersediaan anggaran PB dalam APBD sesuai ketentuan peraturan perundangan).
Keempat, menggerakkan kearifan lokal menjadi pelajaran berharga bagi proses pengurangan resiko bencana seperti smong di pulau simeulu aceh, yg dapat mengurangi jumlah korban akibat tsunami.
Kelima, karena wilayah indonesia sebagian besar memiliki resiko besar bencana dalam bermacam jenis haZard, dan sulit memindahkan bencana atau kita menghindarinya maka kapasitas _living harmoni with disaster harus diperkuat dan ditingkatkan. (rls/red)