WAISAI,KLIKPAPUA.COM–Kepala Badan Pengelola Perbatasan Daerah (BPPD) Kabupaten Raja Ampat, Mohliyat Mayalibit, SH mempertanyakan Undang – undang (UU) yang menjerat ASN.
Hal itu ia sampaikan menanggapi berbagai polemik yang menyebutkan ASN akan dipecat jika terbukti terlibat politik praktis. Mohliyat mengaku ASN merasa dilema sebab disatu sisi diminta menjaga netralitas sementara disisi lain hak politik tetap diberikan oleh konstitusi di negara ini.
Munculnya polemik soal ASN akan diberikan sanksi tegas, dipecat dan sebagainya bila terlibat politik, mantan kabag hukum itu kembali pertanyakan UU dan KUHP tertuang dalam pasal berapa dan ayat berapa yang mengikat ASN.
Menurut Mohliyat, seorang ASN dapat dipecat jika terlibat melakukan tindak pidana korupsi, terorisme, narkotika atau kegiatan yang membahayakan keutuhan NKRI, hal itupun berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan ingkrah sehingga dapat dipecat sesuai prosedur.
“Kalau sanksi administrasi boleh, tapi untuk pemecatan tidak mungkin. Nah, pemahaman ini harus diluruskan sehingga ASN jangan ditakut – takuti. Digiring kedalam kandang dan dibuat jadi dilema, karena ASN bukan TNI/Polri yang didalam konstitusi tidak punya hak pilih. Bahkan ASN disuruh berdemokrasi, namun bagian dari demokrasi tersebut mereka dilarang untuk ikut terlibat, ” tegas Mohliyat kepada sejumlah wartawan di kantor DPRD, Waisai, Rabu (23/9/2020).
Lanjut Mohliyat, seseorang boleh memilih kucing didalam karung, dan juga memilih pemimpin tanpa mengetahui visi dan misinya, sebab itu dirinya meminta agar hal ini jangan sampai dikembang – kembangkan terutama kepada ASN. “Kalau memang salah, dimana letak kesalahannya. Tolong jelaskan. Semua dapat berbicara tetapi aturan hukum dan regulasinya tidak disebut secara garis besar UU pasal berapa, ” jelasnya.
Ia menambahkan, ASN diberi hak politik karena dapat memilih Paslon, namun jika tidak apakah hal tersebut telah diatur dalam Peraturan pemerintah (PP), Peraturan Menteri, Peraturan PKPU atau kesepakatan bersama. “Apakah kesepakatan bersama itu memuat bagian dari sanksi pidana, dan di PP diberi kewenangan untuk memberikan sangsi pidana bagi pelanggar?, ” ujar Mohliyat
Produk hukum terendah di daerah ini yang mengatur tentang penerapan sanksi pidana adalah UU dan Peraturan daerah (Perda) yang dibatasi maksimal empat bulan yakni hukuman fisik atau kurungan dengan sanksi administrasi maksimal Rp. 50 juta. “Anggap saja Perda adalah UU, sedangkan PP itu perturan Bupati. Sementara peraturan Bupati tidak boleh memuat ketentuan pidana,” tandasnya. (djw)
Editor: BUSTAM
|