Workshop Gerkatin di Manokwari: Tanggalkan Stigma, Jaga Kesehatan Mental Difabel Rungu

0
Penyandang Difabel Rungu/Tuli di Manokwari antusias mengikuti workshop kesehatan mental yang digagas oleh DPP Gerkatin. (Foto: Elyas/klikpapua)

MANOKWARI, KLIKPAPUA.com – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin) mengadakan workshop edukasi kesehatan mental bagi penyandang Difabel Rungu/Tuli di Manokwari, Papua Barat, pada Sabtu (9/11/2024).

Workshop ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran pentingnya kesehatan mental bagi penyandang Tuli di wilayah tersebut.

Workshop ini dihelat di Sekolah Luar Biasa (SLB) Panca Kasih Manokwari dan menghadirkan Herbert Klein, seorang penasihat tuli independen dalam bidang kesehatan mental asal Inggris, sebagai pemateri utama.

Kepala SLB Panca Kasih Manokwari, Haryati, menjelaskan kegitan ini terselenggara berkat kerjasama antara DPP Gerkatin dan Pemerintah Provinsi Papua Barat melalui Dinas Pendidikan.

Sebanyak 30 peserta, baik alumni maupun siswa aktif SLB Panca Kasih, mengikuti workshop dengan penuh antusias.

Mata mereka berbinar saat Herbert Klein, berbagi kisah dan tips menjaga kesehatan mental. Wajah-wajah muda itu tampak lega seolah menemukan teman seperjuangan.

“Peserta yang hadir adalah 30 penyandang tuli, terdiri dari alumni serta siswa SMPLB dan SMALB Panca Kasih,” ujar Haryati.

Haryati menjelaskan, tujuan utama dari workshop ini adalah untuk meningkatkan pemahaman tentang pentingnya kesehatan mental di kalangan penyandang tuli serta memberikan informasi dasar tentang tanda-tanda awal gangguan mental.

Dalam sesi tersebut, Haryati menjelaskan, Herbert membawakan materi mengenai konsep kesehatan mental, cara mengenali gejala awal stres dan gangguan mental, serta pentingnya membangun kesadaran diri.

Materi disampaikan dalam bahasa isyarat dan diterjemahkan oleh anggota Gerkatin, sehingga mudah dipahami oleh para peserta.

“Menurut hasil penelitian yang dilakukan Herbert, di Indonesia banyak penyandang tuli yang mengalami depresi,” tambahnya.

Herbert juga menekankan pentingnya membuka diri dan menghilangkan stigma seputar kesehatan mental di kalangan penyandang tuli.

Pada kesempatan itu, Haryati juga menyinggung penggunaan istilah “Tuna Rungu” yang bagi sebagian penyandang difabel pendengaran kurang sesuai dengan kondisi mereka.

Banyak penyandang Tuli lebih memilih istilah “Tuli” karena dianggap lebih menghargai identitas mereka, bukan sekadar memandang keterbatasan fisik dalam mendengar.

“Kenapa saya menyebut mereka sebagai tuli? Karena istilah ‘tunarungu’ bagi sebagian dari mereka menyakitkan. Lebih baik kita menggunakan istilah yang mereka anggap sesuai, yaitu tuli,” terang Haryati.

Haryati mengungkapkan, Gerkatin telah melaksanakan kegiatan serupa di berbagai daerah. Hingga kini, sudah ada 22 provinsi yang mereka kunjungi dalam rangkaian edukasi kesehatan mental ini.

Dia juga mengapresiasi dukungan berbagai pihak yang telah membantu menyukseskan acara ini, termasuk pihak SLB yang memfasilitasi tempat dan kebutuhan lainnya.

“Kegiatan seperti ini sangat dibutuhkan oleh penyandang tuli, karena memberikan mereka kesempatan untuk berinteraksi, berdiskusi, dan berbagi cerita. Sama seperti kita, mereka juga membutuhkan ruang untuk berkomunikasi dan mengekspresikan diri,” ujar Haryati.

Workshop ini diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi pemerintah daerah untuk lebih memperhatikan penyediaan fasilitas dan ruang bagi penyandang tuli di Papua Barat, agar mereka dapat mengekspresikan bakat dan pendapat mereka. (dra)


Komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.