JAKARTA,KLIKPAPUA.com–Wakil Ketua I Komite I DPD RI Filep Wamafma mengurai analisis dampak dana Otsus terhadap Kesejahteraan Orang Asli Papua.
Penggunaan dana Otsus tercatat mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 13,79 persen per tahun. Hingga 2020, Otsus untuk Papua dan Papua Barat sebesar Rp129,82 triliun.
Ia mengatakan, meningkatnya penerimaan dana Otsus diharapkan dapat digunakan daerah untuk meningkatkan pelayanan publik dan mendorong aktivitas ekonomi melalui optimalisasi potensi ekonomi, sehingga daerah dapat mandiri secara ekonomi dan finansial.
Selanjutnya, besarnya proporsi sumbangan PAD menunjukkan bahwa ketergantungan fiskal daerah di Papua relatif sangat tinggi terhadap transfer dana dari Pemerintah Pusat.
Tahun 2016 s.d 2020 rata-rata sumbangan PAD dari 29 kabupaten/kota dan 1 provinsi di Papua terhadap pendapatan daerah hanya sebesar 3,21%. rata-rata sumbangan PAD dari 13 kabupaten/kota dan Provinsi Papua Barat terhadap PD hanya sebesar 3,61%.
Selain itu, belanja daerah di era Otsus Papua masih didominasi oleh belanja langsung yang berkaitan dengan pelaksanaan program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat di Papua.
Di Papua, rata-rata pendapatan daerah yang diperoleh melalui transfer DOK meningkat sebesar 5,18% per tahunnya, namun hanya dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia (IPM) di Papua sebesar 1,08% per tahun.
Begitu pula dengan di Papua Barat yang meningkat sebesar 3,25%, ternyata hanya mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan IPM di Papua Barat sebesar 1,16% per tahun. Ini menunjukan bahwa, jika Pemerintah Pusat ingin untuk meningkatkan kualitas hidup sumber daya manusia di Papua, maka transfer dana Otsus perlu ditingkatkan dan /atau ditambah nilainya.
Sementara itu, di Papua dan Papua Barat, meningkatnya pendapatan daerah yang diterima melalui dana Otsus (Papua sebesar 5,18% per tahun dan Papua Barat sebesar 3,63% per tahunnya) hanya mampu menurunkan kemiskinan yang diukur melalui persentase penduduk miskin pada kedua wilayah masing-masing sebesar 1,56% per tahun dan 3,82% per tahun.
Ini menunjukan bahwa, jika Pemerintah Pusat ingin untuk meningkatkan kualitas hidup sumber daya manusia di Papua, maka transfer DOK perlu ditingkatkan dan/atau ditambah nilainya.
Akan tetapi, Komite I DPD RI memandang bahwa kewenangan provinsi sejauh ini dilangkahi sedemikian rupa melalui penggunaan Pasal 76 ayat (2) sebagai dasar bagi pemekaran. Ini berarti, bahwa mekanisme pemekaran ialah top down dengan tanpa melibatkan aspirasi Pemerintah Provinsi.
“Persoalan pemekaran ini membawa implikasi pada kewenangan DPD yang dalam praktik ketatanegaraan memiliki peran sentral dalam hal pembahasan mengenai otonomi daerah. Di sini penguatan kewenangan DPD RI seharusnya dipertegas dan tidak seolah dilangkahi oleh Pemerintah,” ujarnya.
“Jika memang dimekarkan, seharusnya pemerintah memperkuat wilayah kabupaten/kota sebagai titik pemekaran, mengingat transfer langsung pemerintah ke kabupaten/kota sangat besar nominalnya. Dibutuhkan analisis ilmiah mengenai konstruksi hukum, politik, dan pemetaan sosial yang komprehensif mengenai mengapa harus dilakukan pemekaran di wilayah provinsi,” tambahnya. (aa)