JAKARTA,KLIKPAPUA.com– Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) menggelar webinar bertajuk “Pemikiran tentang Masa Depan Otonomi Daerah di Indonesia”, Sabtu (24/6/2023).
Ketua Umum (Ketum) MIPI Bahtiar mengatakan, webinar ini dilandasi atas kegelisahan pengurus MIPI yang dihadapkan pada tantangan baru terkait otonomi daerah.
Menurut Bahtiar, otonomi daerah yang dibangun dari waktu ke waktu dan diikat dengan berbagai peraturan perundang-undangan, sampai saat ini belum ada satu daerah otonom di Indonesia yang benar-benar mandiri atau mampu menghadirkan kesejahteraan rakyat di wilayahnya.
“Sistem pemerintahan daerah dengan otonomi dalam bangunan negara sistem kesatuan, itu tentu memiliki perjalanan panjang sendiri, yang berkembang bisa meluas, bisa menyempit, dengan berbagai varian-variannya,” katanya.
Dia menambahkan, pemerintah Indonesia bisa merekonstruksi model atau sistem otonomi daerah yang dikehendaki sesuai dengan kebutuhan. Untuk menuju ke sana, banyak aspek yang perlu dibicarakan, baik praktik kelembagaan hingga bentuk pemerintahan terbaru seperti badan otorita. Termasuk dengan melihat referensi-referensi dari negara lain.
“Mungkin ada model-model lain yang harus diatur dan dikembangkan, yang sesuai dengan lingkungan. Suatu ketika Pak Habibi membuat otorita Batam, juga akhirnya ketika otorita Batam masih berdiri sendiri itu bagus sekali,” terangnya.
Narasumber Profesor Ilmu Politik Universitas Hasanuddin (Unhas) Armin Arsyad menjelaskan dalam paparannya, pemikiran otonomi daerah dimulai pada masa Undang-Undang (UU) Desentralisasi Wet 1903 oleh pemerintah Hindia Belanda. UU tersebut muncul sebagai konsekuensi dari adanya politik etis di Eropa. Dampak dari UU itu melahirkan volksrad (semacam anggota DPRD) di tingkat lokal.
“Otonomi daerah adalah kebebasan daerah otonom untuk membuat dan melaksanakan kebijakan sesuai dengan potensi, aspirasi, dan kepentingan masyarakat setempat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujarnya.
Dia menyampaikan, idealnya otonomi daerah memberikan kebebasan kepada daerah untuk berkreasi, berinisiatif, berprakarsa, berinovasi untuk mengoptimalkan potensi daerah. Selain itu juga untuk membangun dan mengembangkan daerah sesuai dengan aspirasi dan kepentingan masyarakat setempat dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Otonomi daerah harus dijadikan momentum yang tepat untuk menciptakan produk unggulan yang kualitasnya nomor satu di dunia. Kalau setiap daerah memiliki satu saja produk unggulan, maka itu berarti Indonesia akan memiliki 498 produk unggulan di dunia, laku di dunia. Indonesia bisa menguasai pasar dunia,” tuturnya.
Narasumber berikutnya, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Padjadjaran (Unpad) Mudiyati Rahmatunnisa menambahkan, otonomi daerah ini tak lepas dari kebijakan desentralisasi. Keberlanjutan kesepakatan pemerintah Indonesia tentang pentingnya desentralisasi sebagai sebuah strategi untuk mengatur negara Indonesia yang luas dan heterogen sebagaimana dikukuhkan dalam konstitusi negara.
“Desentralisasi merupakan sebuah mekanisme yang paling cocok untuk mengatur negara dalam perjalanan itu,” ungkapnya.
Dia menegaskan, keberagaman derajat kewenangan yang diserahkan kepada daerah merefleksikan adanya pengaruh konteks sosiopolitik pada saat undang-undang atau peraturan dibuat dan dilaksanakan. Dalam pembacaannya pula dia menemukan, pengaruh konfigurasi politik lebih kuat dibandingkan dengan pertimbangan yang sifatnya semata-mata teknis manajerial. Faktor ini pula yang menyebabkan derajat otonomi daerah berfluktuasi dari waktu ke waktu. (rls/red)