KASUS indisipliner protokol kesehatan Raffi Ahmad setelah menjalani pemberian vaksin, Kamis 14 Januari kemarin merupakan “produk kolaborasi” media sosial dan media mainstream. Dari sebuah unggahan medsos, Raffi dan sejumlah pesohor diketahui menghadiri pesta ulang tahun Sean Gelael. Disebut-sebut pula Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok hadir dalam kerumunan tanpa menggunakan masker itu.
Kejadian itu menjadi diskusi publik setelah media-media memberitakannya. Menarik, karena belum berselang lama Raffi menjadi influencer Istana sebagai “duta vaksin” bersama-sama dengan Presiden Joko Widodo.
Otoritas Istana dikabarkan sudah menegur sang artis. Aneka analisis pun mengemuka, mengaitkan bias penggunaan influencer ini dengan politik seremoni dan pencitraan. Muncul pula pernyataan, opini efektivitas vaksinasi Covid-19 bisa terkacaukan apabila Raffi mengalami infeksi virus.
Walaupun berbeda persoalan, kejadian itu mengingatkan beberapa tahun silam, ketika seorang aktor tertangkap tangan sedang berpesta narkoba, hanya beberapa jam setelah mengampanyekan sikap antiobat-obatan terlarang sebagai Duta Narkoba.
Covid-19 telah menebarkan kecemasan sebagai pandemi yang membayangi kehidupan kita sejak awal 2020. Kehati-hatian dalam interaksi sosial kemasyarakatan dengan segala protokolnya merupakan pola perilaku baru yang harus diadaptasi semua orang.
Kedisiplinan menjadi kunci untuk menjalani 3M (menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak). Pemvaksinan menjadi tahapan yang sudah ditunggu lebih dari setengah tahun ini, yang diharapkan bisa memberi ketenangan terhadap pencegahan dari kemungkinan-kemungkinan keterpaparan virus Corona.
Awalnya sempat berlangsung “perdebatan” tentang siapa yang siap menjadi “sukarelawan” untuk pertama kali divaksin. Istana menggagas perlunya tokoh pelopor, ditambah influencer yang bisa menjadi panutan, agar memunculkan rasa mantap dan kepengikutan dalam kampanye vaksin. Dan, dari hakikat efektivitas komunikasi massa, kecerobohan Raffi Ahmad telah merusak kepercayaan tentang tujuan kepengikutan itu.
Dari sisi ini, bagaimana seharusnya media mengawal? Fungsi Edukasi
Eksplorasi dan blow up kasus Raffi dan Ahok terkait indisipliner ini merupakan bagian dari fungsi pers untuk mengedukasi, menginformasikan, dan menjalankan kontrol sosial. Ketika banyak sisi liputan yang dikembangkan oleh media, hal itu menguatkan peran pedidikan yang menyasar bukan hanya pemerintah, tetapi juga para pengamat sosial-politik, dan masyarakat.
Pertama; Istana diingatkan untuk menyiapkan kebijakan dan langkah secara detail, mempertimbangkannya dari semua aspek. Seremoni memang merupakan bagian dari sosialisasi tentang penanda sebuah momentum, tetapi arah dan prakiraan efektivitasnya harus tetap diprioritaskan. Akan menjadi kontraproduktif manakala aspek-aspek lain seperti konsistensi pengawalan seremoni itu diabaikan.
Pemerintah seharusnya menyadari, kontrol bisa berlangsung seketika lewat pemanfaatan aneka platform media sosial, yang selanjutnya menggulir viral di media massa. Jangan mengadalkan kerja buzzer untuk melawan opini publik yang berkembang, karena berpotensi menjadi bumerang dalam penilaian kinerja demokrasi. Selanjutnya, penegakan hukum yang terkait dengan pelanggaran protokol kesehatan ini juga harus menghindarkan sikap pandang bulu.
Kedua; para analis sosial-politik, khususnya yang berbaju akademisi, patut menyikapi kasus ini untuk menguji kejernihan dan objektivitas padangan-pandangannya. Jangan diskriminatif dalam menanggapi kasus-kasus pelanggaran protokol kesehatan. Tak peduli mereka yang berasal dari lingkaran kekuasaan atau yang berkecenderungan oposisi, penilaian kritis tetap harus disampaikan. Yang harus dimahkotakan adalah orientasi kesehatan masyarakat.
Ketiga; bagi masyarakat luas, kasus Raffi Ahmad menjadi pembelajaran penting. Kita boleh mengikuti “ajakan” para tokoh pemerintah atau pesohor dalam menyikapi sesuatu, namun nalar kritis harus tetap diasah terhadap perilaku perseorangan yang terkadang tidak tepat.
Tidak semua pernyataan atau perilaku tokoh bisa diserap dengan nilai keteladanan. Penting bagi masyarakat untuk paham, sikap istikamah dalam menjalankan disiplin protokol kesehatan merupakan kunci, khususnya dalam konteks kampanye vaksinasi ini.
Beberapa pandangan terhadap sisi pemerintah, pengamat sosial-politik, dan masyarakat itu secara tidak langsung menguatkan determinasi posisi media dalam kerja besar bersama pengendalian dan penanganan pandemi Covid-19. Maka ketika Hari Pers Nasional (HPN) 2021 9 Februari nanti merujuk tema-tema yang mendorong pengawalan kesehatan rakyat, konteks peran media dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers bakal semakin terasa.
Misalnya, “Pers Kuat, Rakyat Sehat”, “Pers Kuat Mengawal Rakyat Sehat”, “Pers Mengawal Rakyat Sehat”, atau “Pers Inspiratif Mengawal Rakyat Sehat”. Sikap kritis dalam blow up eksploratif kasus Raffi Ahmad kemarin, harus dimaknai sebagai bentuk kolaborasi kepentingan yang saling bersambut antara media, pemerintah, dan masyarakat.
— Amir Machmud NS, wartawan SUARABARU.id, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah