MANOKWARI, KLIKPAPUA.com – Ketua Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB), Judson Ferdinandus Waprak, dengan tegas menolak rencana pemerintah pusat untuk mengaktifkan kembali program transmigrasi ke wilayah Papua, khususnya Papua Barat.
Dalam pernyataannya, ia menyampaikan bahwa MRPB sebagai lembaga yang memiliki visi utama melindungi manusia dan tanah Papua, akan terus mengawal hak-hak masyarakat asli Papua demi kesejahteraan mereka di tanah kelahiran.
Ia menambahkan bahwa “MRPB bertanggung jawab melindungi dan memproteksi hak-hak masyarakat asli Papua, terutama di tengah rencana transmigrasi yang berpotensi menambah tekanan sosial dan ekonomi pada masyarakat setempat,” kata Waprak usai menyambut masa demo di kantor MRPB, Kamis (7/11/2024)
Terkait program transmigrasi yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto, Waprak mengungkapkan sikapnya dengan hormat, namun ia menilai program tersebut lebih baik tidak dilaksanakan di Papua.
“Kami menghargai keputusan pemerintah, namun sebagai orang Papua, saya rasa transmigrasi sebaiknya tidak ada di sini,” tegasnya.
Menurutnya, bahkan tanpa transmigrasi, arus pendatang di Papua sudah memberikan dampak yang signifikan terhadap posisi masyarakat asli Papua dalam berbagai sektor, baik di bidang pemerintahan, ekonomi, politik, maupun sosial.
Waprak menjelaskan bahwa tanpa tambahan pendatang, masyarakat Papua sudah merasa tersisih dan terpinggirkan di atas tanah mereka sendiri.
“Apalagi jika transmigrasi kembali dilakukan, yang ada saat ini saja sudah membuat orang Papua merasa termarjinalkan,” jelasnya.
Selain itu, Waprak juga menyoroti keberadaan Papua sebagai salah satu paru-paru dunia yang perlu dilindungi. Ia menegaskan bahwa hutan di Papua, bersama hutan di Kalimantan, memiliki fungsi krusial bagi keseimbangan ekosistem global.
“Jika ingin membuka lumbung pangan besar, carilah wilayah lain yang sudah terbuka. Jangan menutup ruang hijau yang menjadi paru-paru dunia,” ujarnya.
Menurutnya, masyarakat Papua memiliki pandangan sederhana terkait kesejahteraan. “Orang Papua tidak menginginkan banyak hal. Asalkan bisa makan, anak bisa sekolah, itu sudah cukup. Transmigrasi tidak akan memberikan dampak positif bagi mereka,” ungkap Waprak.
Ia juga berharap agar pemerintah mempertimbangkan aspek populasi asli Papua yang terbilang sedikit dibandingkan jumlah pendatang. Menurutnya, kuota pendatang yang terus bertambah akan mempengaruhi keseimbangan sosial dan budaya di Papua.
“Jika terlalu banyak pendatang, bagaimana nasib orang Papua? Mereka sudah sedikit, jika tidak dilindungi, lama-kelamaan tanah mereka akan dimiliki oleh orang lain,” tegasnya.
Waprak juga menyoroti dampak transmigrasi di Merauke yang telah mengorbankan ribuan hektar lahan untuk swasembada pangan. Meskipun ia mendukung program swasembada pangan yang menyeluruh, Waprak mengingatkan agar program tersebut tidak sampai mengancam hak hidup masyarakat asli Papua.
“Jika lahan di Merauke dimanfaatkan untuk swasembada tanpa melibatkan penduduk asli, lalu bagaimana nasib mereka?” tambahnya.
Sebagai bentuk advokasi terhadap kepentingan masyarakat Papua, MRPB telah berkoordinasi dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Majelis Rakyat Papua se-Papua untuk bersama-sama mengawal isu transmigrasi ini.
Waprak menegaskan bahwa tidak hanya MRPB, tetapi seluruh pemangku kepentingan harus duduk bersama untuk membahas kepentingan rakyat Papua.
“Saya berharap agar semua asosiasi MRP se-Papua dan para wakil rakyat, baik di DPR Papua Barat, DPDRI, maupun DPRRI, benar-benar memprioritaskan kepentingan masyarakat Papua. Mari kita duduk bersama dan menetapkan sikap tegas untuk menolak transmigrasi,” kata Waprak.
Ketua MRPB berharap agar Presiden mempertimbangkan kembali rencana transmigrasi ke Papua. Ia menekankan pentingnya menjaga keseimbangan kehidupan sosial dan budaya masyarakat asli Papua di tengah tantangan pembangunan yang semakin pesat. (aa)