JAKARTA,KLIKPAPUA.com – Hingga sampai saat ini tahapan kampanye dalam pemilihan kepala daerah serentak masih terkendali. Artinya, kekhawatiran Pilkada akan jadi kluster penyebaran Covid-19 tidak terbukti. Meski begitu semua pihak harus tetap disiplin menerapkan protokol kesehatan.
Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri, Safrizal yang juga Wakil Ketua Satgas Penanganan Covid-19 mengungkapkan hal itu dalam konferensi pers terkait dengan Monitoring Pilkada dan Penegakan Protokol Kesehatan di Operation Room Gedung B Lantai 2 Kementerian Dalam Negeri di Jakarta, Selasa (17/11/2020).
Menurut Safrizal selama ini ada kekhawatiran Pilkada akan jadi cluster baru. Tapi setelah dievaluasi sekian waktu, belum terbukti kalau Pilkada ini akan menimbulkan cluster baru yang cukup signifikan. Ini tentunya menarik.
“Dari data yang kami kumpulkan malah terjadi penurunan zonasi risiko. Kami kasih contoh, pada awal kita menyelenggarakan kampanye, kami startnya dari tanggal 6 September, sudah mulai menyelenggarakan kampanye Pilkada, zonasi daerah merahnya itu pada 45 daerah dari 309 daerah yang daerahnya ada Pilkadanya, baik Pilkada bupati/walikota maupun gubernur,” ujarnya.
Namun, lanjut Safrizal, berdasarkan data terakhir per 8 November, zona merah di daerah yang menggelar Pilkada, atau dari 309 daerah itu menunjukkan penurunan. Zona merah menjadi 18 daerah. Artinya dengan kepatuhan terhadap protokol kesehatan di daerah Pilkada, kekhawatiran terhadap daerah Pilkada bakal jadi kluster baru bisa dihilangkan.
“Tapi tentu saja dengan protokol kesehatan yang kuat ya, dan tentu saja dengan kerjasama semua pihak. Kita melakukan evaluasi mingguan terhadap daerah yang melakukan Pilkada ini. Kita lakukan evaluasi, artinya dari 309 daerah yang melakukan Pilkada dilakukan evaluasi, ada 2 provinsi yang tidak kita ikutkan karena sama sekali tidak ada Pilkada di wilayahnya, yaitu Aceh, tidak ada kampanye provinsi dan tidak ada pula Pilkada bupati/walikota, kemudian juga provinsi DKI Jakarta,” tutur Safrizal.
Selain Aceh dan DKI Jakarta, kata Safrizal, 32 provinsi lainnya ada Pilkadanya, baik itu pemilihan gubernur, bupati/walikota. Evaluasi dilakukan secara reguler. Semuanya dibahas mulai dari perkembangan kepatuhan terhadap protokol kesehatan, juga data terkait pelanggaran protokol kesehatan.
“Misalnya, data pelanggaran yang terbanyak masih itu ketika kampanye belum dimulai. Itu sebelum tanggal 6 September, dan pada waktu itu peraturan KPU Nomor 10 baru saja diterbitkan dan belum disosialisasikan. Sehingga terjadi kerumunan dimana-mana. Akhirnya apa yang terjadi? Mendagri menegur 82 kepala daerah yang melakukan atau membiarkan juga ikut berkumpul berkerumun karena mengumpulkan massa yang banyak,” kata Safrizal.
Tegurannya pun, kata dia, bukan lisan. Tapi teguran tertulis. Sementara terkait monitoring pelaksanaan Pilkada di masa pandemi, dilakukan setiap minggu. Setelah itu digelar rapat evaluasi setiap bulannya yang dipimpin oleh Menkopolhukam. Dan setiap 2 minggu sekali rapat dipimpin oleh Mendagri.
“Nah ketika sebelum tanggal 6 September itu ada teguran sebanyak itu, dan tentu saja Mendagri tidak dapat menegur pasangan calon karena di luar kewenangan. Jadi yang ditegur adalah kepala daerah yang merupakan kewenangannya Mendagri, ” katanya.
Sementara saat memasuki masa kampanye, lanjut Safrizal monitor terhadap pasangan calon dilakukan oleh Bawaslu. Selama masa kampanye berlangsung, Bawaslu tercatat telah menegur hampir 306 pelanggaran protokol kesehatan. Pelanggaran terhadap protokol kesehatan itu mulai dari berkerumun dan tidak disiplin menggunakan masker.
“Tentu saja peraturannya berdasarkan PKPU Nomor 10. Dari 13.646 pertemuan atau kampanye tatap muka pelanggarannya itu 306, dan semuanya telah diberikan tindakan oleh Bawaslu sesuai dengan kewenangan di masa kampanye. Artinya pelanggaranya 2,2 persen dan ini tentu saja menurut penilaian kampanye pelanggarannya itu juga tidak cukup signifikan. Dan tidak ada juga pelanggaran yang masif sampai ribuan, karena jumlah berkumpul itu adalah 50 orang berdasarkan peraturan Bawaslu,” ujarnya.
Yang menarik, kata Safrizal, justru di daerah yang tidak menggelar Pilkada menunjukkan kenaikkan zonasi. Misalnya Aceh. zona kuning dan oranye di Aceh naik terus. Padahal Pilkada tidak ada di Aceh. Kemudian juga di DKI Jakarta walaupun rata-ratanya sudah bisa dikendalikan, sebab rata rata positif di ibukota sekitar 1000-an. Namun angkanya belum menunjukkan bahwa belum turun, walaupun sedikit fluktuatif.
“Oleh karenanya kita tetap terus mengawal proses peningkatan disiplin protokol kesehatan di daerah Pilkada. Sehingga pelaksanaan di tanggal 9 Desember itu bisa dijalankan dan kami pastikan dengan usaha yang sungguh-sungguh semua pihak, semua sudah memiliki masker. Kenapa? gerakan masif bagi masker dan pakai masker justru terjadi di daerah yang Pilkada, karena membagi bahan kampanye berupa masker, hand sanitizer, sabun, alat/mesin cuci tangan dan sebagainya masuk ke dalam golongan bahan kampanye yang diizinkan oleh KPU dan hari ini sudah kami cek seluruh pasangan calon sudah memproduksi masker, boleh menampilkan gambar, nama dan nomor urut mereka, ” ujarnya.(rls/kp1)