Catatan Hendry Ch Bangun
Matilah kau Undang-Undang Pers. Begitulah kira-kira ucapan Anak Medan, kalau ditanya apa akibat tidak langsung dengan disahkannya UU KUHP di Dewan Perwakilan Rakyat RI, Jakarta, Selasa (6/12/2022).
Undang-Undang Hukum Pidana yang mulai diberlakukan pemerintah kolonial Belanda sejak 1918 itu, sudah berusaha diubah dan disesuaikan dengan lepasnya Indonesia dari penjajahan sejak era Presiden Soekarno tahun 1960.
Tetapi bukannya ke arah kedaulatan rakyat sebuah negara merdeka, bau-bau kolonialnya justru masih terasa. Pemerintah menganggap rakyat yang berbeda pendapat, menyampaikan pendapat kritis yang tidak sejalan dengan kekuasaan, sebagai musuh sebagaimana dulu Belanda memperlakukan para pejuang pro kemerdekaan. Pemerintah bilang pengesahan ini adalah dekolonisasi (mungkin maksudnya dekolonialisasi), sebaliknya masyarakat pers dan peguat HAM menyebut, UU KUHP yang baru malah rekolonisasi.
Penghinaan terhadap pimpinan negara, lembaga negara, lambang dan simbol negara, dianggap upaya untuk delegitimasi pemerintah, dan dijatuhi hukuman pidana denda atau sanksi pidana. Celakanya pers menjadi collateral damage, terkena efek samping dari upaya pemerintah menjaga “stabilitas” .
Dewan Pers sampai detik-detik terakhir sebelum UU KUHP disahkan, berupaya semaksimal mungkin agar pengesahan ditunda karena ada cacat, khususnya terkait UU No 40 tentang Pers, yang lahir dengan semangat reformasi, setelah sekian puluh tahun dikangkangi Soeharto. Saya rinci di bawah ini, ada sembilan kluster yang dianggap menghambat kemerdekaan pers—yakni, kegiatan menyiarkan berita sebagai tindakan yang dapat dipidanakan–, agar pembaca mendapatkan rujukan selengkapnya.
Pasal 188 tentang Tindak Pidana terhadap ideologi negara.
Pasal 218-220 tentang Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden, karena merupakan wujud ketentuan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam KUHP yang sudah dicabut Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006
Pasal 240 dan 241 tentang Tindak Pidana Penghinaan Pemerintahan yang Sah, serta Pasal 246 dan 248 (penghasutan untuk melawan pengusaha hukum) karena ada kata “penghinaan” dan “hasutan” yang bersifat karet.
Pasal 263 dan 264 Tindak Pidana Penyiaran dan Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong.
Pasal 280 Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan
Pasal 302-304 Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan
Pasal 351-352 Tindak Pidana terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara
Pasal 440 Tindak Pidana Penghinaan: pencemaran nama baik.
Pasal 437, 443 Tindak Pidana Pencemaran.
Ketika Undang-Undang Pers diberlakukan tujuan utamanya adalah untuk menghancurkan “kegelapan” dan “kesewenang-wenangan” Orde Baru dalam menjalankan pemerintahan, memberantas Korupsi, Kolusi, Nepotisme oleh Soeharto dan keluarganya dan rezimnya.
Pers tidak takut lagi melakukan kontrol atas lembaga dan penyelenggaraan negara, mengkritik penyelenggara negara yang menyeleweng, proses pembangunan yang asal-asalan, penganggaran yang tidak akuntabel dsb. Sejauh produk jurnalistiknya dihasilkan secara profesinal, sesuai Kode Etik Jurnalistik, tidak ada masalah. Kalau dianggap melanggar pers wajib memberikan hak jawab, atau melakukan ralat, atau meminta maaf kepada pihak yang dirugikan atau ke masyarakat.
Tetapi sekarang, rambu-rambu di UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan berbagai aturan hasil dari swaregulasi, seperti ditendang ke got oleh UU KUHP.
***
Di dalam poin menimbang, butir a dan b, jelas sekali bagaimana kedudukan UU Pers sebagai perwujudan dari Pasal 28 UUD 1945.
-
bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 harus dijamin.
-
bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa;