JAKARTA,KLIKPAPUA.COM – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menegaskan bahwa Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Direktorat Jenderal (Ditjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri dengan 13 Perusahaan Swasta hanya sebatas memberikan akses untuk verifikasi data kependudukan, bukan memberikan data penduduk. Hal itu disampaikan oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Dukcapil Zudan Arif Fakrulloh, di Jakarta pada Senin (15/6/2020).
“Ada beberapa pihak mencurigai bahwa pemberian hak akses pemanfaatan data kependudukan ini dapat menyebabkan kebocoran data kependudukan dan mempertanyakan logika yang mendasari pemberian hak akses pemanfaatan data kependudukan oleh Kemendagri,” kata Zudan.
Sebelumnya, Ditjen Dukcapil Kemendagri telah menandatangani PKS dengan 13 perusahaan swasta, 3 di antaranya yakni PT Pendanaan Teknologi Nusa, PT Digital Alpha Indonesia (UangTeman) dan PT Ammana Fintek Syariah (Ammana) bergerak di bidang penyedia jasa pinjaman (fintech). Belakangan beredar isu yang tidak benar dan menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat.
Untuk menjawab kekhawatiran tersebut, Zudan menjelaskan dengan gamblang, data kependudukan dari Kementerian Dalam Negeri dimanfaatkan untuk semua keperluan antara lain pelayanan publik, perencanaan pembangunan, alokasi anggaran, pembangunan demokrasi, dan penegakan hukum dan pencegahan kriminal. Ketentuan tersebut sejatinya lahir sebagai bentuk dukungan nyata fasilitas negara, bukan hanya dalam rangka meningkatkan efektivitas kerja organ negara. “Namun juga perkembangan serta pertumbuhan ekonomi dan layanan publik bagi seluruh elemen bangsa dan negara,” papar Zudan.
Adapun, pemberian hak akses verifikasi pemanfaatan data kependudukan sesungguhnya berlandaskan pada amanat Pasal 79 dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk). Pasal 79 terkait dengan Hak Akses Verifikasi Data dan Pasal 58 terkait dengan ruang lingkupnya.
Khusus bagi industri fintech, kata Zudan, di mana memiliki risiko tinggi pinjaman fiktif, mengingat proses identifikasi konsumen dilakukan secara jarak jauh, pemanfaatan data kependudukan, NIK dan KTP-el ini merupakan suatu kemajuan besar. Diharapkan hak akses pemanfaatan data kependudukan ini dapat mencegah peminjam fiktif sehingga dapat memajukan industri yakni memperkuat peranannya dalam menyalurkan pinjaman ke masyarakat yang belum terakses lembaga jasa keuangan. “Dengan kerja sama ini akan dapat mencegah kejahatan, mencegah data masyarakat tidak digunakan orang lain dan mencegah kerugian yang lebih besar dari lembaga fintech karena peminjam menggunakan data orang lain,” ujar Zudan.
Fintech Wajib Berijin OJK
Adapun persyaratan dan tata cara untuk bisa mendapatkan hak akses verifikasi data kependudukan secara lebih teknis diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 102 Tahun 2019 tentang Pemberian Hak Akses dan Pemanfaatan Data Kependudukan (Permendagri No. 102 Tahun 2019). “Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi adalah surat keterangan izin usaha dan adanya rekomendasi tertulis dari otoritas pembinaan dan pengawasan kegiatan usaha bagi badan hukum Indonesia,” tandas Zudan.
Ketiga perusahaan fintech peer-to-peer lending yang mendapatkan hak akses verifikasi data kependudukan ini telah mendapatkan izin untuk beroperasi beserta rekomendasi tertulis dari lembaga negara yang berwenang yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Apabila belum memiliki izin dari OJK maka tidak akan diberikan kerja sama,” tegas Zudan.
Selain itu setiap perusahaan yang bekerjasama wajib menjaga kerahasiaan data kependudukan. Dalam setiap perjanjian kerja sama selalu dituangkan kewajiban untuk menjamin kerahasiaan, keutuhan dan kebenaran data serta tidak dilakukannya penyimpanan data kependudukan. Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian sudah mewanti wanti agar seluruh Lembaga pengguna selain mematuhi semua peraturan perundang-undangan (rule of law) juga harus mematuhi ketentuan yang terkait dengan hak privacy atau hak privat masyarakat terkait dengan perlindungan rahasia data pribadi.
Ilustrasi
Lebih lanjut, Zudan menjelaskan, hak akses verifikasi data yang diberikan kepada ketiga perusahaan tersebut tidak memungkinkan ketiganya untuk dapat melihat secara keseluruhan ataupun satu persatu data penduduk. “Namun hak akses ini hanya memungkinkan untuk dilakukannya verifikasi kesesuaian atau ketidaksesuaian antara data-data yang diberikan seorang penduduk yang akan menjadi calon nasabah fintech dengan data yang ada pada database kependudukan,”.
Sebagai ilustrasi, seorang penduduk bernama Budi ingin melakukan pinjaman online di salah satu dari ketiga perusahaan fintech tsb, maka Budi memberikan data dirinya berupa NIK, Nama, Tempat Lahir dan Tanggal/Bulan/Tahun lahir dan sebagainya (yang disyaratkan oleh perusahaan tersebut) kepada salah satu perusahaan melalui aplikasi pinjaman online. Data diri sebagaimana telah diberikan Budi tersebut kemudian dilakukan verifikasi oleh perusahaan dengan database kependudukan Kemendagri. Dari proses verifikasi dengan data Kemendagri tersebut, kemudian perusahaan aplikasi pinjaman online mendapatkan respon berupa notifikasi “SESUAI” atau ”TIDAK SESUAI”.
Selain itu, Kemendagri pun selalu melakukan langkah-langkah pengamanan sistem dengan standar terukur, guna memastikan bahwa hak akses verifikasi data selalu berada dalam koridor hukum. “Terhadap pelanggaran atas penyalahgunaan data kependudukan dikenakan pidana penjara selama 2 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 95A UU No.24 Tahun 2013,” pungkas Zudan.(rls/red)