Oleh: Vicky Hardinata, S.H., M.H.Penelaah Kebijaksan Teknis pada Kejaksaan Tinggi Jawa Timur
BANJIR bandang dan longsor yang berulang di berbagai wilayah Sumatera tidak lagi dapat dipahami sebagai peristiwa yang kebetulan atau semata-mata akibat faktor alam. Dalam beberapa tahun terakhir, bencana serupa terus terjadi dengan pola yang relatif sama: hujan deras disusul banjir bandang, lereng runtuh, pemukiman rusak, dan korban jiwa berjatuhan. Ironisnya, setiap kejadian kerap diberi label sebagai “bencana alam”, seolah-olah ia hadir tanpa sebab dan berada di luar kendali manusia. Narasi semacam ini problematik karena menutupi fakta bahwa banyak bencana ekologis justru merupakan hasil dari keputusan pembangunan dan kebijakan yang mengabaikan daya dukung lingkungan.
Deforestasi, pembalakan liar, dan pertambangan ilegal telah berlangsung lama dan masif di berbagai kawasan Sumatera. Hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyangga ekosistem terus menyusut, daerah aliran sungai rusak, dan lereng-lereng menjadi rapuh. Ketika hujan datang, alam tidak lagi mampu menahan dan mengatur aliran air, sehingga bencana menjadi keniscayaan. Dalam konteks ini, banjir bandang dan longsor bukanlah takdir alam, melainkan konsekuensi langsung dari pembiaran terhadap kejahatan ekologis yang dilakukan secara sistematis.
Banjir bandang dan longsor selalu menyisakan korban, dan ironisnya, yang paling terdampak hampir selalu masyarakat kecil. Mereka kehilangan rumah, lahan, mata pencaharian, bahkan anggota keluarga, sementara daya tawar mereka terhadap kebijakan dan kekuasaan nyaris tidak ada. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan tidak berhenti pada kerusakan fisik, tetapi juga pada terputusnya sumber penghidupan dan meningkatnya kerentanan sosial pascabencana.
Selain kerugian material, bencana ekologis meninggalkan trauma kolektif yang mendalam. Ketidakpastian hidup, rasa takut setiap kali hujan turun, dan ketidakjelasan masa depan menjadi beban psikologis yang jarang diperhitungkan dalam kalkulasi pembangunan. Di sinilah ketidakadilan ekologis tampak nyata: masyarakat menanggung dampak paling berat, sementara pelaku pembalakan liar dan pertambangan ilegal menikmati keuntungan ekonomi tanpa menanggung risiko sosial dan ekologis yang mereka ciptakan.
Ketika bencana terus berulang, penderitaan masyarakat berubah menjadi normalisasi ketidakadilan. Tanpa perubahan kebijakan dan penegakan hukum yang tegas, korban akan terus berjatuhan, dan luka sosial akibat kerusakan lingkungan akan semakin dalam dan sulit disembuhkan.
Oleh karena itu, bencana di Sumatera harus dibaca sebagai cermin kegagalan kolektif dalam menjaga lingkungan dan menegakkan hukum. Selama deforestasi, pembalakan liar, dan pertambangan ilegal terus dibiarkan, bencana hanya akan berulang dengan skala yang kian besar, sementara korban terus berjatuhan tanpa keadilan.
Hutan memiliki fungsi ekologis yang tidak tergantikan dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Ia berperan sebagai pengatur tata air, penahan erosi, serta pelindung daerah aliran sungai (DAS) dari kerusakan. Tutupan hutan yang sehat memungkinkan air hujan diserap ke dalam tanah, mengurangi limpasan permukaan, dan menahan laju sedimentasi. Ketika hutan hilang, daya dukung lingkungan runtuh, dan bencana menjadi konsekuensi yang nyaris tak terelakkan.
Di Sumatera, deforestasi telah berlangsung dalam skala besar dan waktu yang panjang. Alih fungsi hutan untuk perkebunan, konsesi pertambangan, serta pembukaan lahan yang tidak terkendali terus menggerus kawasan hutan alam. Tren kehilangan tutupan hutan menunjukkan pola yang konsisten dari tahun ke tahun, menandakan bahwa kerusakan ini bukan peristiwa sporadis, melainkan proses sistematis yang dibiarkan berlangsung lama. Dampaknya bukan hanya pada berkurangnya luas hutan, tetapi juga pada rusaknya struktur tanah, terganggunya siklus hidrologi, dan melemahnya kemampuan alam dalam menghadapi curah hujan ekstrem.
Dalam konteks ini, negara gagal menjaga keseimbangan antara eksploitasi sumber daya alam dan keberlanjutan lingkungan. Kebijakan pembangunan lebih sering menempatkan hutan sebagai komoditas ekonomi ketimbang sebagai penyangga kehidupan. Pengendalian alih fungsi lahan lemah, pengawasan tidak konsisten, dan kepentingan jangka pendek kerap mengalahkan pertimbangan ekologis jangka panjang. Ketika kerusakan berlangsung bertahun-tahun tanpa koreksi serius, maka bencana ekologis sesungguhnya telah disiapkan jauh sebelum hujan turun. Deforestasi bukan hanya persoalan lingkungan, melainkan persoalan kebijakan dan tanggung jawab negara terhadap keselamatan warganya.
Pembalakan liar dan pertambangan ilegal bukan sekadar pelanggaran hukum biasa, melainkan kejahatan ekonomi sekaligus kejahatan ekologis yang dampaknya luas dan berjangka panjang. Aktivitas ini merampas sumber daya alam secara ilegal, merusak fungsi lingkungan, dan meninggalkan beban sosial yang harus ditanggung masyarakat. Di Sumatera, praktik pembalakan liar dan tambang ilegal telah menjadi salah satu faktor utama rusaknya kawasan hutan, terutama di wilayah hulu daerah aliran sungai yang seharusnya dilindungi.
Kerusakan yang ditimbulkan bersifat langsung dan kasat mata. Lereng-lereng dibuka tanpa perhitungan ekologis, vegetasi penahan tanah hilang, dan sungai-sungai tercemar serta mengalami pendangkalan akibat sedimentasi. Hulu DAS yang rusak kehilangan kemampuan mengatur aliran air, sehingga hujan dengan intensitas tinggi mudah berubah menjadi banjir bandang. Dalam jangka panjang, kondisi ini menciptakan siklus bencana yang berulang: hutan rusak, daya dukung hilang, lalu bencana datang dengan skala yang semakin besar.
Yang lebih mengkhawatirkan, pembalakan liar dan pertambangan ilegal sering kali tidak berdiri sendiri, melainkan melibatkan jaringan kepentingan yang kompleks. Ada aktor lokal yang menjadi pelaksana di lapangan, ada modal yang menopang operasional, dan tidak jarang terdapat relasi dengan kekuasaan yang memungkinkan aktivitas ilegal ini bertahan. Mustahil kejahatan ekologis semacam ini berlangsung lama tanpa pembiaran, lemahnya pengawasan, atau bahkan kompromi terhadap hukum. Lingkungan dikorbankan demi keuntungan jangka pendek segelintir pihak, sementara masyarakat luas harus menanggung risiko dan kerugiannya.
Ketika negara gagal memutus mata rantai kejahatan ini, pembalakan liar dan pertambangan ilegal akan terus beradaptasi dan berpindah lokasi. Selama pendekatan penegakan hukum masih setengah hati, hutan Sumatera akan terus terkikis, dan bencana ekologis akan menjadi konsekuensi yang terus menghantui kehidupan masyarakat.
Hubungan antara kerusakan hutan dan bencana banjir bandang serta longsor sesungguhnya sangat jelas dan bersifat sebab–akibat. Ketika tutupan hutan hilang, kemampuan tanah untuk menyerap air hujan menurun drastis. Akar pohon yang selama ini berfungsi menahan air dan mengikat tanah tidak lagi bekerja, sehingga limpasan air permukaan meningkat tajam. Dalam kondisi seperti ini, hujan lebat dengan cepat berubah menjadi aliran deras yang membawa lumpur, kayu, dan material lainnya ke hilir, memicu banjir bandang yang menghancurkan pemukiman dan infrastruktur.
Kerusakan lereng akibat pembalakan liar dan pertambangan ilegal memperparah situasi. Lereng yang dibuka tanpa perhitungan teknis menjadi labil dan rentan runtuh. Tanah yang kehilangan struktur alaminya tidak mampu menahan beban air, sehingga longsor mudah terjadi, terutama saat curah hujan tinggi. Bencana ini tidak datang tiba-tiba, melainkan merupakan hasil akumulasi dari praktik perusakan lingkungan yang berlangsung lama dan berulang.
Dalam perspektif ini, banjir bandang dan longsor harus dipahami sebagai “akumulasi kejahatan ekologis”. Alam tidak tiba-tiba menjadi ganas; ia hanya “menagih” kerusakan yang telah lama dilakukan manusia. Setiap hektare hutan yang ditebang secara ilegal, setiap lereng yang dirusak demi tambang, adalah investasi bencana di masa depan. Ketika hujan turun, kerusakan yang sebelumnya tak terlihat berubah menjadi tragedi nyata.
Menyebut peristiwa ini sebagai bencana alam tanpa mengakui peran manusia dan kebijakan yang abai adalah bentuk pengingkaran terhadap fakta ekologis. Selama akar persoalan kerusakan hutan tidak disentuh, banjir bandang dan longsor akan terus berulang, dan masyarakat kembali menjadi korban dari kesalahan yang sama.
Negara tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab atas maraknya kejahatan lingkungan yang berujung pada bencana ekologis. Lemahnya pengawasan, tumpang tindih perizinan, serta inkonsistensi kebijakan lingkungan menciptakan ruang lebar bagi pembalakan liar dan pertambangan ilegal untuk tumbuh subur. Alih-alih menjadi pelindung hutan dan lingkungan, kebijakan sering kali justru membuka celah eksploitasi atas nama pembangunan dan investasi, tanpa pengendalian yang memadai.
Ironisnya, kehadiran negara lebih sering terasa setelah bencana terjadi. Bantuan darurat, evakuasi, dan rehabilitasi memang penting, tetapi semua itu datang terlambat bagi korban yang telah kehilangan rumah, mata pencaharian, bahkan nyawa. Negara absen pada fase paling krusial, yakni pencegahan. Ketika hutan ditebangi secara ilegal dan tambang beroperasi tanpa izin, pengawasan lemah dan penegakan hukum setengah hati. Pembiaran ini berlangsung bertahun-tahun hingga akhirnya “dibayar” dengan bencana.
Penegakan hukum lingkungan belum ditempatkan sebagai prioritas serius dalam agenda negara. Kejahatan lingkungan kerap diperlakukan sebagai pelanggaran administratif, bukan sebagai ancaman nyata terhadap keselamatan publik dan keberlanjutan hidup. Padahal, pembiaran terhadap perusakan lingkungan adalah bentuk kegagalan negara dalam melindungi warganya. Negara yang membiarkan hutan rusak sejatinya sedang membiarkan rakyatnya hidup dalam risiko bencana yang terus mengintai.
Dalam penanggulangan deforestasi dan kejahatan lingkungan, Kejaksaan menempati posisi strategis sebagai garda penting penegakan hukum. Tidak hanya berperan dalam proses penuntutan, Kejaksaan juga memiliki kewenangan signifikan dalam menjaga kepentingan negara dan melindungi aset publik yang dirugikan akibat kejahatan lingkungan. Pembalakan liar dan pertambangan ilegal bukan sekadar pelanggaran teknis, melainkan tindak pidana yang merusak ekosistem dan menimbulkan kerugian negara dalam skala besar.
Peran penuntutan terhadap pelaku pembalakan liar dan tambang ilegal menjadi krusial untuk memutus mata rantai kejahatan ekologis. Penegakan hukum yang tegas dan konsisten akan menciptakan efek jera, sekaligus mengirimkan pesan bahwa perusakan lingkungan tidak lagi ditoleransi. Tanpa ketegasan ini, kejahatan lingkungan akan terus beradaptasi dan mencari celah hukum untuk bertahan.
Lebih jauh, Kejaksaan memiliki peran penting dalam penyelamatan keuangan dan kekayaan negara dari praktik ilegal yang merampas sumber daya alam. Melalui optimalisasi fungsi Jaksa Pengacara Negara (JPN), Kejaksaan dapat mendorong pemulihan kerugian negara dan kerusakan ekologis, baik melalui gugatan perdata, perampasan aset, maupun pemulihan lingkungan. Pendekatan ini menegaskan bahwa kejahatan lingkungan harus diperlakukan sebagai kejahatan serius, bukan sekadar pelanggaran administratif. Tanpa keberanian hukum dan konsistensi penegakan, deforestasi dan kejahatan lingkungan akan terus menjadi ancaman laten bagi keselamatan dan masa depan masyarakat.
Banjir bandang dan longsor yang berulang di Sumatera menegaskan satu hal penting: bencana bukanlah peristiwa alamiah semata, melainkan akibat dari kerusakan lingkungan yang dibiarkan berlangsung lama. Deforestasi, pembalakan liar, dan pertambangan ilegal telah meruntuhkan daya dukung alam dan mengubah hujan menjadi ancaman mematikan. Selama kejahatan ekologis ini tidak dihentikan, bencana hanya akan terus berulang dengan korban yang semakin besar.
Karena itu, perlawanan terhadap perusakan lingkungan harus ditempatkan sebagai agenda serius negara. Negara tidak boleh sekadar hadir setelah bencana, tetapi harus tegas dan konsisten sebelum bencana terjadi. Penegakan hukum lingkungan yang kuat, termasuk peran strategis Kejaksaan dalam menindak pelaku, menyelamatkan aset negara, dan memulihkan kerusakan ekologis merupakan kunci pencegahan yang nyata. Menyelamatkan hutan berarti menyelamatkan kehidupan dan masa depan Sumatera. Tanpa keberanian kebijakan dan integritas penegakan hukum, bencana akan terus menjadi harga mahal yang harus dibayar oleh masyarakat atas kelalaian kita sendiri… semoga!!!





















